Iklan

Tuntutan Tontonan Ramah Anak Adalah Tuntunan

Media Berita6
25 November 2024, 7:56 AM WIB Last Updated 2024-11-25T00:57:11Z
I Nyoman Suaka, IKIP Saraswati Tabanan, Bali


Mediaberita6 - Pengaruh teknologi komunikasi  dari  televisi, hingga internet dan telepon selular terus diperdebatkan terutama menyangkut isi pesan dari media tersebut. Teori komunikasi (Laswell, 1948) menyebutkan pengaruh media langsung menembak sasaran bagaikan peluru yang ditembakkan. Teori peluru ini dalam perkembagannya menghasilkan model komunikasi massa akibat pengaruh psikologis televisi. Penganut teori ini percaya bahwa media massa seperti televisi dapat langsung mempengaruhi kelakuan pemirsa. Contohnya,  adegan-adegan kekerasan dan kejahatan di TV sebagai biang keladi kriminalitas. Seorang anak diberitakan, terpeleset jatuh dari lantai gedung bertingkat di Jakarta akibat meniru tokoh film Superman yang bisa terbang. Seorang remaja di Bali berhasil mencongkel warung karena meniru adegan Mic Gyver dan kasus-kasus lainnya. Bukan mengungkapkan kejahatan seperti Mic Gyfer, justru menggasak barang-barang di warung.


Pengaruh yang signifikan dari teknologi media adalah ditemukannya “digitalisasi” data suatu usaha mengintegrasikan teknologi komputer dengan teknologi informasi. Perkembangan ini, menurut Kushendrawati (2011:130) menunjukkan tanda-tanda peningkatan bidang teknologi komunikasi melalui media massa. Pada akhirnya perkembangan ini akan menyebabkan munculnya sistem teknologi digital. Penemuan teknologi digital dalam bidang komunikasi memungkinkan manusia menciptakan segala kemungkinan, mencitpakan realitas yang berlebihan (hiperrealitas) yang paling canggih. Teknologi digital dalam bidang komunikasi bisa dilihat sebagai bentuk dari media massa. Dalam perkembangan yang begitu canggih, bentuk media massa ini, menurut Baudrilard (dalam Kushendrawati, 2009:131) bisa memanipulasi dan mengendalikan pesan. Hal ini terlihat dalam tayangan televisi, internet dan video games. Ketiga entitas ini paling mampu menciptakan simulasi, merekayasa realitas, menciptakan hiperrealitas. Tuntutan logika kapitalisme global telah memaksa terutama televisi dan internet, menciptakan semacam obat bius yang bisa membuat massa menjadi pasif. 


Mc Luhan mengatakan bahwa teknologi informasi adalah “perpanjangan” sistem syaraf manusia. Semua serba komputerisasi dan otomatisasi. Objek dapat diproduksi dalam jumlah yang tak terhingga dengan cara yang canggih dan hasilnya sangat mengagumkan. Berbagai produk itu, menurut Baudrillard dalam Kushendrawati  (2011) dan Suaka (2013) adalah suatu realitas tidak saja dapat diproduksi, tetapi disimulasikan bahkan suatu fantasi pun dapat di ”simulasi”. Dengan demikian maka sangat wajar, cerita anakanak yang penuh dengan fantasi dapat dengan mudah disimulasi menjadi film kartun atau animasi. Baudrillard menggunakan istilah simulasi untuk menerangkan berbagai hubungan produksi, konsumsi, dan komunikasi dalam masyarakat konsumen yang hidup dalam serba overproduksi, overkonsumsi, dan overkomunikasi lain melalui media massa, terutama televisi, supermarket, industri hiburan, dan fashion. Dunia secara meyeluruh boleh dikatakan dapat dikonsumsi melalui acara-acara televisi. Dengan demikian simulasi pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat kapitalis global atau masyarakat pascaindustri atau masyarakat konsumen (Kushendrawati, 2011:89-90).  


Melalui produksi simulasi, model Baudrillard ini dihasilkan objek-objek yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya dapat dilakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ruang, seperti film Superman, Spiderman, Batman, dan Ultraman. Film-film animasi untuk anak-anak, seperti Doraemon, Popeye, Mighty Mouse, Tom and Jerry, Sinchan, Candy-candy, Sailoor Moon, Dragon Ball dan lain-lain juga sebagai produk simulasi. Film-fim ini sangat populer tidak saja diminati anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Film-film impor tersebut melekat di hati anak-anak di Indonesia, karena produksinya yang luar biasa dengan teknik yang mengagumkan. Tentu juga karena overkonsumsi dan overkomunikasi. Ditonton oleh anak berulang-ulang dan jangkauan permirsanya sangat luas karena tidak saja di satu stasiun televisi, tetapi juga di layar stasiun televisi yang lain. Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka. Menurut Ron Solby dari Universitas Harvard Amerika Serikat bahwa ada empat macam kekerasan televisi terhadap perkembangan kepribadian anak yakni: 

               1. Dampak agresor, dimana sifat jahat dari anak semakin meningkat.

               2. Dampak korban, dimana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai  orang lain. 

               3. Dampak pemerhati, dimana anak menjadi semakin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain.

              4. Dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak melihat atau melakukan kekerasan dalam mengenai setiap persoalan (Al-Khudri, tth:23) 


Memperhatikan dampak-dampak tersebut di atas, sungguh amat mengerikan dan membuat kita terperanjat.  Akan tetapi, hampir semua remaja dan orang tua sendiri tidak sadar akan bahaya tayangan televisi tersebut. Orang tua harus memanfaatkan televisi sebagai media informasi pendidikan, sehingga harus konskuen dengan hanya memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menyaksikan acara yang mendukug pendidikan. Acara-acara hiburan melalui fim-film kartun tidak boleh berlebihan hanya bersifat selingan (refresing). Menghadapi anak-anak memang kadang membuat orang tua serba salah. Di satu sisi orang tua bertindak keras, tanpa memberikan alasan, malahan anak akan menyalahkan orang tua. Di sisi lain, orang tua bersikap lunak terhadap anak dengan memanjakan untuk menonton televisi, juga akan bertambah buruk. Sepatutnya orang tua mendampingi anak-anak menonton siaran televisi. Namun, yang sering terjadi orang tua berebutan remote control TV dengan anaknya untuk menonton tayangan favoritnya.


Kewajiban orang tua untuk mendampingi anak saat menonton televisi sangat jarang dipraktikkan. Tanpa disadari orang tua memaksa anak untuk menonton tayangan TV yang menyajikan siaran khusus dewasa. Dalam kondisi ini, diperlukan pemahaman bersama dalam menyiapkan dan mengemas siaran TV yang berkualitas dan mendidik oleh lembaga penyiaran. Juga diperlukan pemahaman kepada orang tua terkait acara anak-anak dan membantu anak dalam memilih program yang sesuai. Di sisi lain peran pemerintah dan akademisi untuk melakukan literasi media terkait tayangan televisi yang ramah anak. 


Stasiun televisi di Indonesia dan lembaga penyiaran lainnya dalam memproduksi dan menayangkan sebuah program wajib berpedoman pada Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam pasal 36 ayat 3 disebutkan bahwa isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khususnya, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai isi siaran. Dalam pedoman perilaku penyiaran (P3) juga telah diberikan batas bagi lembaga penyiaran terkait perlindungan kepada anak. Pada pasal 14 ayat 1 disebutkan lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat, sesuai dengan penggolongan program siaran. Pada ayat 2 disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak-anak dalam setiap aspek produksi siaran.                  


Dalam standar program siaran (SPS) lembaga penyiaran juga telah diberikan pedoman dasar terkait penerapan perlidungan anak dan remaja, seperti pada pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan atau remaja. Pada ayat 2 disebutkan bahwa program siaran yang berisi muatan asusila  atau informasi tentang dugaan tindakan pidana asusila dilarang menampilkan anak-anak dan atau remaja. Satu lagi yang penting pada ayat 3, yang menyebutkan bahwa program siaran yang menampilkan anak-anak atau remaja dalam pristiwa dan penegakan hukum wajib disamarkan wajah dan identitas. Ketentuan yang ada sudah sangat jelas, namun masih menjadi kendala bahwa, penerapannnya dipandang belum maksimal. Penerapan perlindungan anak hingga saat ini belum menjadi perhatian serius di lembaga penyiaran. 

Dalam upaya perlindungan terhadap anak-anak diperlukan tayangan yang mendidik, informatif, dan menghibur. Tuntutan tontonan bagi anak haruslah menjadi tuntunan. Menurut Muliarta (2016:31), tanpa adanya perspektif perlindungan anak dari pengelola lembaga penyiaran sangat tidak mungkin menghasilkan siaran yang ramah anak. Lembaga penyiaran juga memiliki tugas membangun kesadaran perlindungan anak melalui program siarannya. Program siaran tersebut dalam bentuk berita ataupun tayangan yang berperspektif perlindungan anak. Namun, kesadaran kolektif perlindungan anak akan berhasil dilakukan oleh lembaga penyiaran jika pengelola lembaga penyiaran telah memiliki perspektif yang sama tentang perlindungan anak. 


Selain lembaga penyiaran, juga tak kalah penting peran orang tua untuk mendampingi anaknya saat menonton tayangan televisi. Jadi, orang tua harus memberikan pengertian pada anaknya tentang apa yang ada di televisi. Tayangan televisi belum tentu dipahami secara baik oleh anak-anak, terlebih adegan tersebut merupakan trik-trik kamera. Tayangan televisi saat ini cukup beragam, dan lembaga penyiaran telah memberikan kode dalam siaran tersebut. Kode tersebut berupa R dalam lingkaran yang berarti tayangan khusus remaja atau tanda BO dalam lingkaran yang berarti ketika anak menonton tayangan tersebut perlu bimbingan orang tua. Akan tetapi, dengan alasan kesibukan, orang tua justru membiarkan anak menonton siaran televisi yang tidak sesuai dengan klasifikasi. Anak bahkan mendapat keleluasaan waktu untuk menonton siaran televisi berjam-jam. 


Di tengah kesibukan bekerja, para orang tua lebih merasa aman dan tenang jika anak duduk dengan manis di depan televisi dibandingkan main di luar rumah. Hal itulah, seperti yang dikatakan Suny (2005:93) yang mendasari para orang tua untuk menjadikan televisi sebagai baby syster (pengasuh) bagi anak-anak mereka. Akan tetapi dengan menjadikan televisi sebagai baby syster itu justru timbul masalah baru. Baby syster bernama televisi itu akan mengajarkan banyak hal negatif kepada anak-anak. Memang dengan aktivitas menonton televisi itu anak-anak akan terhindar dari mara bahaya di luar, tetapi pada saat yang sama anak justru sedang belajar menjadi orang yang berbahaya dari kekerasan yang ditampilkan TV.         Berdasarkan pantauan penulis, hal yang cukup fatal selama ini bagi orang tua adalah menempatkan televisi di ruang tidur. Kondisi ini menyebabkan anak sering ikut menonton apa yang ditonton orang tua, padahal siaran tersebut khsusus untuk kalangan dewasa. Bahkan juga terdapat kecenderungan orang tua membiarkan atau justru menaruh televisi di kamar tidur anak. Maka dalam hal ini perlu adanya ketegasan dari orang tua untuk membatasi anak-anaknya menonton televisi. 


Beberapa penelitian menyebutkan bahwa menonton televisi yang sehat maksimal hanya dua jam dalam sehari. Para praktisi penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sejak tahun 2006 telah mendorong adanya gerakan menonton TV secara sehat. Gerakan ini menyerukan kepada masyarakat untuk tidak menonton televisi selama satu hari. Gerakan ini juga sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat bahwa informasi dan hiburan tidak hanya dapat diperoleh melalui televisi. Informasi dan pendidikan masih bisa didapatkan melalui membaca di perpustakaan atau membaca koran dan majalah. Seruan untuk mendapatkan informasi melalui buku atau membaca di perpustakaan, tampaknya kurang mendapat perhatian. 


Kondisi ini terkait dengan minat baca anak dan masyarakat tergolong rendah. Mereka lebih senang menonton televisi dibandingkan membaca buku.   Kini televisi punya sahabat baru yang jauh lebih praktis, telepon selular (handphone). Berbagai jenis hiburan dan informasi dapat di akses dalam kotak kecil itu. Tinggal klik saja, dunia ada dalam genggaman. Anak-anak kini menghadapi tantangan literasi digital yang jauh lebih dahsyat dampaknya dari TV. Serba dilematis, memang. Di sekolah guru-guru  dituntut menerapkan model pembelajaran abad ke-21 yang berbasis teknologi. Salah satu ciri pendidikan abad ini adalah siswa dituntut inovatif, kreatif, berpikir kritis, berkarakter melalui bayang-bayang pembelajaran digital. (Penulis, I Nyoman Suaka, IKIP Saraswati Tabanan, Bali / Editor : Guntur Surentu).


Komentar

Tampilkan

Terkini

+