Jakarta, Mediaberita6 - Komunitas Cinta Film Indonesia (KCFI) bersama Kementerian Kebudayaan RI melalui Direktorat Perfilman, Musik dan Seni resmi menggelar Seni Inklusif & Penyerahan Buku Panduan Perfilman Inklusif—sebuah langkah strategis untuk memperkuat akses dan ruang berkarya bagi para pelaku seni difabel di industri kreatif. Acara ini berlangsung di Le Meridien Hotel Jakarta, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 18-20, Rabu (19/11/2025).
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Perfilman yang Lebih Setara
Penyusunan buku ini melibatkan banyak pihak yang memiliki keahlian dan pengalaman beragam:
-
Para dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang memberikan dasar akademik dan metodologi.
-
Asosiasi KFT serta para sineas yang menyumbang pengalaman teknis di lapangan.
-
Komunitas dan pegiat isu disabilitas seperti Komnas Disabilitas Nasional, PPDI, Mimi Institut, Inklusi Film, hingga KCFI yang aktif mendorong ruang akses bagi penyandang disabilitas.
Dr. Suzen menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat, terutama Direktorat Perfilman, Musik dan Seni Kemendikbudristek yang memberikan dukungan penuh selama proses penyusunan buku.
Momentum Hari Disabilitas Internasional, lanjutnya, diharapkan menjadi ruang untuk memperluas pemanfaatan buku panduan ini, termasuk bagi sineas agar mampu mengangkat tema disabilitas dengan empati, bukan eksploitasi.
Buku yang Harus Terus Berkembang
Direktur Perfilman, Musik, dan Seni, Dr. Syaifullah Agam, SE., M.Ec., Ph.D, menekankan bahwa buku panduan ini penting, namun tidak boleh dianggap sebagai pedoman yang final.
“Buku ini bukan kitab suci yang sempurna. Undang-undang saja perlu ditinjau ulang, apalagi pedoman teknis yang harus mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya.
Ia mencontohkan pesatnya perkembangan teknologi visual dan audio di industri film yang kini makin realistis. Menurutnya, perubahan ini menuntut pedoman yang fleksibel dan selalu diperbarui.
Syaifullah juga menyoroti pentingnya melihat penyandang disabilitas bukan sebagai beban dalam produksi film. Ia mengisahkan pengalaman pribadi ketika berkuliah bersama mahasiswa difabel netra yang justru berprestasi tinggi melalui dukungan teknologi dan akses yang setara.
“Keterbatasan seseorang bisa berubah menjadi kelebihan ketika kita memberi ruang dan kesempatan. Industri film harus melihat itu,” tegasnya.
Ia turut mendorong pembukaan kesempatan kreatif lebih luas, termasuk kompetisi penulisan skenario bagi talenta dari kelompok disabilitas. Baginya, kualitas cerita tidak ditentukan oleh latar belakang, melainkan oleh riset, imajinasi, dan kedalaman perspektif.
Diskusi & Pertunjukan Seni Inklusif Meriahkan Acara
Setelah penyerahan buku, acara dilanjutkan dengan diskusi panel bertema “Masa Depan Seni & Perfilman Inklusif di Indonesia.”
Sesi pertama dalam diskusi ini Dr. Dante Rigmalia, M.Pd dan Mimi Mariani Lusli, M.Si, MA yang di moderatori oleh Didang Prajasasmita kedua pembicara menekankan pentingnya masyarakat untuk memahami dan mengerti kebutuhan penyandang disabilitas akan akses dan ruang untuk berkreatif tidak hanya sekedar membantu dan mengasihani semata, melainkan berjalan ber-iringan, setara dan menjadikan penyandang disabilitas untuk mandiri.
Pada kesempatan sesi kedua Ruly Sofyan, SH lebih menyoroti keterlibatan pemerintah dalam pembuatan regulasi bagi penyandang disabilitas agar dapat dipatuhi para pengusaha di industri film, musik dan seni, baik penyandang disabilitas sebagai konsumen maupun pelaku dalam ekosistem itu sendiri. Sementara itu Budi Sumarno pegiat film dan disabilitas yang telah lama bergelut dengan ekosistem film, musik dan seni menekankan pentingnya keterlibatan komunitas dalam ekosistem perfilman di indonesia. Sesi kedua ini dimoderatori Ahmad Madani.
Acara juga dimeriahkan penampilan seni inklusif yang menggugah:
-
Qia, penyanyi netra dengan vokal memukau
-
Fashion show karya Rafi Ridwan, desainer muda tuna rungu
-
Parodi teatrikal “Produksi Inklusif” oleh Komunitas Inklusi Film


