Film drama yang diangkat dari kisah nyata tersebut digarap oleh sutradara Aditya Gumay, diproduseri Smaradana Pro, Ronny Mepet, dan diperkuat musik emosional karya Adam S. Permana. “Nia” akan tayang serentak di seluruh jaringan bioskop Indonesia pada 4 Desember 2025, menghadirkan deretan aktor dan aktris berbakat seperti Syakira Humaira, Helsi Herlinda, Neno Warisman, Eka Maharani, dan Qya Ditra.
Potret Keteguhan yang Dipatahkan Kekerasan
“Nia” mengikuti perjalanan hidup Nia Kurnia Sari, 18 tahun, gadis cerdas dan pekerja keras yang menjadi tulang punggung keluarga setelah kedua orang tuanya berpisah. Syakira Humaira memerankan Nia dengan kejujuran emosional—menunjukkan bagaimana seorang remaja bisa memanggul beban orang dewasa demi ibu yang sakit dan dua adik yang masih kecil.
Namun cahaya itu padam brutal. Dalam perjalanan pulang setelah berjualan, Nia diserang oleh seorang pemuda pengangguran bernama Andri—diperankan Qya Ditra—yang memperkosanya lalu menghabisi nyawanya. Tiga hari kemudian, jasad Nia ditemukan di tepi irigasi Kayu Tanam. Luka itu bukan hanya milik keluarga, tetapi milik masyarakat.
Akting yang Menghidupkan Luka dan Harapan
Penampilan Neno Warisman sebagai Makwo menjadi salah satu penopang emosional film ini. Ia tak hanya memerankan figur keluarga, tetapi juga suara publik—mewakili jeritan ibu, tetangga, masyarakat, siapa saja yang merasa: kekerasan terhadap perempuan tak boleh dianggap “biasa.”
Dibuat dengan Riset, Bukan Sensasi
Aditya Gumay menegaskan bahwa film ini tidak dibuat karena kisahnya sempat viral. Ia turun langsung menelusuri kehidupan almarhumah Nia—dan menemukan sosok inspiratif: berprestasi akademis, juara silat, pandai mengaji, tak malu berjualan untuk menafkahi keluarga.
“Dia tidak tumbuh dalam kemudahan, tapi dia memilih berjuang,” kata Aditya. Ia menyebut alur film memiliki 85 persen kesesuaian dengan kisah nyata sebagai bentuk penghormatan terhadap Nia dan keluarganya. Selain menjadi memorial, film ini juga membawa pesan edukasi mengenai bahaya narkoba dan dampaknya bagi generasi muda.
Produser Ronny Mepet mengungkapkan proses produksi berlangsung sekitar 19–20 hari dengan tambahan syuting di New York, Amerika Serikat, demi memberikan sentuhan visual lebih kuat. Dalam kisah asli, kekasih Nia tengah dirawat di Thailand, tetapi Aditya memilih New York untuk menghadirkan nuansa salju dan rasa jarak emosional yang lebih puitis.
Sementara itu, Ruben Onsu sebagai produser menilai kisah Nia merepresentasikan realitas banyak remaja Indonesia—menjadi dewasa terlalu cepat karena keadaan ekonomi. “Nia adalah wajah perjuangan banyak anak muda di negara ini,” ujarnya.
Romansa, Harapan, dan Luka yang Menyisakan Pertanyaan
Di tengah gelapnya tragedi, film ini juga menghadirkan sisi lembut kehidupan Nia melalui kisah cintanya dengan seorang pemuda yang sedang berjuang melawan penyakit jantung. Elemen romansa ini bukan sekadar pemanis, melainkan pengingat: Nia pernah bermimpi, mencintai, dan dicintai—sebelum hidupnya direnggut.
Lebih dari Film—Sebuah Gerakan Kesadaran
Dengan visual sinematik, akting yang menyayat hingga naskah yang menyentuh persoalan sosial secara manusiawi, “Nia” diprediksi menjadi salah satu film Indonesia paling berpengaruh di penghujung 2025. Bukan karena sensasi, tetapi karena keberaniannya menempatkan empati di pusat cerita.
Mulai 4 Desember 2025, “Nia” hadir bukan sekadar sebagai tontonan, tetapi sebagai seruan kemanusiaan—mengajak kita lebih peka, berani bersuara, dan tidak menutup mata ketika perempuan dan anak menjadi korban kekerasan.
Karena di balik setiap data kriminal, selalu ada seseorang seperti Nia: seorang manusia, seorang mimpi, sebuah masa depan yang seharusnya tidak terputus. (AA)


