Mediaberita6 - Tanggal 30 Maret diambil dari hari pertama produksi film Darah dan Doa (Long March of Siliwangi) karya Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, tahun 1950. Melansir Kemdikbud, sejarah Hari Film Nasional diperingati setiap tanggal 30 Maret ini berdasarkan Keppres RI No. 25 tahun 1999. Tanggal itu dipilih karena pada 30 Maret 1950 untuk pertama kalinya sebuah film diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia, H. Usmar Ismail.
Sejarahnya Terdapat beberapa usulan tanggal terkait tanggal Hari Film Nasional. Diberitakan Harian Kompas, 19 Agustus 1984, dalam sidang Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia (MMPI) diadakan di Yogyakarta dalam rangkaian FFI 84 diajukan beberapa tanggal sebagai Hari Film Nasional, yakni 6 Oktober dan 30 Maret.
Meskipun Loetoeng Kasaroeng (1926) merupakan film pertama yang dibuat di Indonesia, tapi pembuatnya adalah orang asing, L Heuveldorp yang berkebangsaan Belanda. Jadi film itu tidak dijadikan patokan penetapan Hari Film Nasional. Selain itu, meskipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, tapi perusahaan film nasional baru berdiri pada 1950. Umar Ismail dan kawan-kawan mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini).
Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional
Produksi pertama, Darah dan Doa, mulai pengambilan gambar perdana pada 30 Maret 1950 dan Umar Ismail menjadi sutradaranya. Meskipun Umar Ismail pernah menyutradarai dua film sebelumnya, yaitu film Tjitra dan Harta Karun (keduanya pada 1949), tapi dia menganggap Darah dan Doa sebagai film pertamanya. Lewat Darah dan Doa dia memperoleh kebebasan sepenuhnya dalam menghasilkan film sebagai karya seni, bukan semata barang dagangan.
Setelah melalui perdebatan panjang untuk menentukan tanggal, akhirnya 30 Maret ditetapkan oleh Dewan Film Nasional dan disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 tahun 1999 oleh BJ Habibie, 29 Maret 1999. Ini merupakan hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi karya Usmar Ismail. Dan menjadi pertama kalinya film dibuat orang dan perusahaan asli Indonesia.
Tanggal 6 Oktober juga mencuat sebagai usulan, karena pada hari itu dilakukan serah terima Nipon Eiga Sha dari pemerintah Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai perwakilan dari Indonesia adalah R M Soetarto, ketua Berita Film Indonesia (BFI).
Studio Nipon Eiga Sha pada awalnya adalah ANIF, lalu berubah menjadi Multi Film. Kemudian saat pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, studio BFI jatuh ke tangan Belanda lagi dan kembali menjadi Multi Film. Kemudian saat Indonesia berdaulat penuh, MUlti Film kembali ke pihak Indonesia dan dinamai Pusat Pilem Negara (PPN). Setelah itu berubah nama lagi menjadi Pusat Film Negara (PFN), lalu Pusat Produksi Film Negara (PPFN).
Penetapan Hari Film Nasional Mengutip Harian Kompas, 5 April 1981, tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional dalam Konferensi kerja Dewan Film Indonesia bersama Organisasi Perfilman pada 11 Oktober 1962 di Jakarta. Berikut bunyi ketetapannya: "Menetapkan hari shooting pertama dalam pembuatan film nasional yang pertama DARAH DAN DOA (The Long March) sebagai Hari Film Nasional". The Long March atau Darah dan Doa adalah film berwarna hitam putih produksi 1950 oleh Usmar Ismail selaku sutradara sekaligus sebagai produser (Perfini).
Film ini mengisahkan perjalanan panjang (long march) prajurit Republik Indonesia yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Sejak saat itu, 30 Maret dianggap sebagai Hari Film Nasional. Usmar Ismail (Perfini) dan Djamaludin Malik (Persari) diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Keppres Nomor 25 Tahun 1999
Pemerintah baru mengeluarkan peraturan perundangan resmi mengenai penetapan Hari Film Nasional pada 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999. Dikutip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Keppres tersebut ditetapkan di Jakarta pada 29 Maret 1999 oleh Presiden RI BJ Habibie. Adapun tujuan penetapan 30 Maret adalah sebagai Hari Film Nasional sebagai upaya meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi para insan film Indonesia. Selain itu, untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional, dan internasional. (dihimpun dari berbagai sumber)