Mediaberita6 - Di sebuah negeri dongeng bernama Kerajaan Antah Berantah, kekisruhan melanda istana pusat. Para abdi dalem, prajurit, dan rakyat jelata berbondong-bondong mendatangi balairung istana, menuntut kejelasan dan meminta Raja Dewangkara mundur dari tahtanya.
Pangkal dari kegaduhan ini adalah keputusan mendadak dari Dewan Penasehat Istana untuk mengadakan Musyawarah Agung pada tanggal 15 Pon mendatang. Keputusan itu dianggap sepihak, tak sesuai dengan Hukum Luhur yang menjadi pedoman kerajaan. Para bangsawan dan pemuka desa menilai musyawarah itu hanyalah dalih untuk mempertahankan kekuasaan.
Setelah suasana kian memanas dan balairung hampir terbakar oleh amarah rakyat, Dewan Penasehat akhirnya menyerahkan penyelenggaraan Musyawarah Agung kepada para Penjaga Amanat, sebuah badan sementara yang ditugaskan mengelola kerajaan hingga April 2025, waktu yang dianggap lebih tepat oleh rakyat.
Namun, di tengah kekacauan itu, muncul sekelompok orang yang menyebut diri mereka Cinta Kerajaan. Mereka mengaku sebagai penyelamat istana, meski tak pernah tercatat sebagai abdi resmi maupun memiliki garis keturunan bangsawan. Dengan penuh percaya diri, mereka mencoba mengambil alih kekuasaan, berteriak lantang bahwa Kerajaan Antah Berantah adalah milik mereka.
Fenomena ini mengingatkan rakyat pada cerita jenaka yang sering dilantunkan oleh para pendongeng di pasar: "Datang tak diundang, pulang tak diantar." Mereka muncul bak pahlawan kesiangan, membawa janji mulia, tetapi tanpa pemahaman akan adat dan aturan. Layaknya petani yang tiba-tiba mengklaim dirinya raja tanpa memahami silsilah kerajaan, tindakan mereka justru memperkeruh suasana.
Dalam kehidupan istana, setiap tokoh memiliki peran dan waktunya. Seorang prajurit tak bisa tiba-tiba menjadi perdana menteri tanpa restu, begitu pula seorang rakyat jelata tak bisa mendadak duduk di singgasana. Menjadi penyelamat tanpa mengerti hukum hanya akan membuat panggung istana semakin kacau.
Semoga ke depan, Kerajaan Antah Berantah dapat menyelesaikan perseteruannya dengan bijaksana, tanpa perlu ada intrik tambahan yang tak perlu. Sebab, baik dalam kehidupan nyata maupun cerita rakyat, terlalu banyak liku cerita hanya akan membuat pendengar lelah dan bosan. (Witaka Wentar-Pendongeng)