Iklan

Pemirsa Sinetron Alami Goncangan Budaya

Media Berita6
20 Desember 2024, 11:13 AM WIB Last Updated 2024-12-20T04:18:16Z


Mediaberita -  Artikel tentang Catatan dan Kenangan Sinetron Realis Kritis yang dimuat Media Berita 6, (6 Desember 2024), memuat foto-foto sinetron Sitti Nurbaya. Foto tersebut mengusik hati penulis karena sempat terjadi goncangan budaya (cultural shock) ketika pemirsa menonton Datuk Maringgih tahun 1991. 


Kajian khayalak kritis  banyak menyoroti tentang gelar datuk yang melekat pada Datuk Maringgih. Hal ini dinilai sebagai penghinaan terhadap tokoh-tokoh masyarakat Minangkabau yang menyandang gelar datuk. Datuk Maringgih sebagai saudagar kikir, bengis, tamak, berpenampilan kotor dan suka perempuan muda. Karakter ini dinilai sebagai representasi dari datuk dalam realitas yang sangat dihormati masyarakat. 


Akibatnya muncul goncangan budaya, sampai dalam bentuk ancaman fisik.  Ancaman kekerasan fisik dilakukan beberapa orang dengan sasaran Ketua Parfi Sumatera Barat, Sjafrial Arifin, seperti pernah diberitakan media masa cetak.

Arifin adalah kordinator dan konsultan shoting sinetron tersebut di Sumatera Barat. Ia juga sebagai asisten sutradara dan pemain di sinetron itu, mendapat tudingan masyarakat setempat. “Karena kamu biarkan sinetron itu dibuat, kan kamu konsultannya,” ujar Arifin meniru ucapan orang sana dalam bahasa Minang (Suara Karya Minggu II, November 1991). 



Dalam artikel yang ditulis Susianna yang berjudul Protes untuk Sitti Nurbaya di surat kabar itu disebutkan, akibat tayangan sinetron tersebut, banyak teror terhadap Parfi Sumatera Barat. Pada malam harinya sekelompok orang yang tidak senang mendatangi Arifin membawa golok. Goloknya cukup panjang dari ujung jari sampai ke pangkal ketiak.

Ancaman kekerasan fisik tersebut akibat kesalahpahaman sekelompok orang  mencermati tayangan tersebut.  



Dalam novel karya Marah Rusli itu maupun sinetron, sudah disinggung bahwa, kata datuk pada nama Datuk Maringgih itu adalah nama orang yang kebetulan bernama Datuk Maringgih. Tidak ada hubungannya dengan gelar adat Minanagkabau.Tokoh ini dalam cerita, senang dipuji, disanjung-sanjung, gila hormat, gila pangkat dan kedudukan. Nama datuk itu hanya panggilan saja. Masalahnya, pemirsa tidak cermat memperhatikan tayangan sinetron, tidak secermat ketika membaca novelnya atau ketika menonton film di bioskop. Ancaman kekerasan itu sebagai dampak rendahnya literasi media virtual. Bisa juga akibat lemahnya literasi baca ketika membaca novel tersebut.


Cuplikan tayangan Sinetron Siti Nurbaya yang di tayangkan TVRI

Tayangan sinetron Sitti Nurbaya TVRI ini, dalam prolognya digambarkan orang beramai-ramai memasuki gedung Taman Budaya di Kota Padang pada suatu malam. Begitu penonton duduk dengan rapi, mereka disuguhi kesenian randai, musik khas Minangkabau. Dua orang berpakaian khas adat setempat duduk di panggung menunjukkan kebolehannya bermain rebab dan suling. 


Pertunjukkan itu diselingi syair-syair yang dilantunkan oleh pemain rebab. Salah satu bait syairnya menyebutkan tokoh Datuk Maringgih mempunyai rumah beratapkan seng. Dia bukan penghulu adat, namun datuk itu hanyo panggilan sajo baginyo (hanya pangggilan saja baginya). Bagi pemirsa asal Minang, yang akrab dengan kesenian itu, syair tersebut sudah cukup mempertegas sosok sebenarnya Datuk Maringgih.

Bagi pemirsa di luar Sumatra Barat, akan kesulitan memahami syair dalam kesenian randai itu. 



Sebab syairnya dilagukan dengan cepat dan menggunakan logat Minangkabau. Pihak Produser dan sutradara tampaknya telah memahami kesulitan itu, sehingga saat syair itu dilagukan, di layar bagian bawah televisi ditunjukkan terjemahan dari syair tersebut dalam bahasa Indonesia. Terjemahan itu sangat jelas dibaca dan mudah dimengerti. Masalahnya, bisa jadi sekelompok orang tadi tidak mengikuti tayangan ini secara utuh mulai dari bagian awal. Sebab menonton televisi, konsenterasi pemirsa sangat rendah, sangat berbeda dengan menonton film di bioskop. Penonton televisi sangat santai dan suka memindah-mindahkan chanel, mencari tontonan lain yang disukai.



Sastra dan Budaya

Menonton sinetron secara penuh dari awal sampai akhir cerita belum cukup. Diperlukan  kemampuan apresiasi sastra dan budaya. Dalam konteks seperti ini, khayalak pemirsa perlu membuka diri dengan persoalan-persoalan adat istiadat, agama dan budaya sebagai latar cerita. Kajian khayalak kritis yang berubah menjadi ancaman kekerasan fisik, seperti kasus dalam sinetron ini akan bisa dihindari. Apalagi pihak Produser TVRI dan Sutradara Dedi Setiadi yang paling bertanggung jawab atas sinetron ini telah menyuguhkan hiburan yang utuh dan menarik.



Sikap dan pandangan khalayak pemirsa, baik yang pro dan kontra telah membantu daya apresiasi masyarakat tentang tayangan sinetron Sitti Nurbaya. Dari kajian khayalak itu, lebih banyak memberikan dukungan positif. Visualisasi karya sastra tersebut menghasilkan tayangan sinetron yang mengandung nilai-nilai etika, logika dan estetika. Ketiganya berpadu menjadi tayangan yang memukau. 



Penggarapan sinetron itu pun  melalui proses yang panjang. Diawali dengan seminar, studi kepustakaan, properti klasik, dan studi lapangan. Melalui langkah-langkah tersebut akhirnya mampu menghasilkan sinetron Sitti Nurbaya sebagai karya industri budaya pertelevisian di Indonesia yang banyak mendapat pujian.



Penulis skenario, Asrul Sani menilai, sinetron Sitti Nurbaya  TVRI ini bukan sekadar sinetron biasa. Melainkan ingin membina kebudayaan lewat perkenalan lebih dalam dengan novel besar karya pengarang Marah Rusli. Hal ini merupakan asset budaya yang mesti dijaga dan dikaji. 



Ia sendiri sebenarnya sudah cukup lama berniat mengangkat novel ini ke dalam media film. Selain itu, ia bersama Sanggar Pelakon yang dipimpin istrinya,Mutiara Sani, menawarkan kepada TVRI untuk membuat beberapa miniseri yang diangkat dari khazanah karya-karya sastra lama sebagai paket acara budaya. 



Namun rencana tersebut menghadapi masalah dana. Akhirnya, empat tahun kemudian, pihak TVRI bersedia mencarikan dana untuk memproduksi sinetron Sitti Nurbaya. (Kompas, 7 Sptember 1991).

Untuk menentukan konsep masa silam itu, sutradara Dedi Setiadi melakukan studi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku seperti Padang Tempoe Doeloe, 


Betawi Tempo Doeloe serta berbagai dokumen dan foto. Untuk pendalaman ide cerita, ia banyak membaca buku-buku yang berkaitan dengan masyarakat dan kebudayaan Minang.Hal ini sangat jarang dilakukan sutradara sinetron, apalagi sampai melakukan studi kepustakaan yang mendalam. “saya terbiasa untuk kerja serius,” ujar Dedi Setiadi (Kartini, 4-17 Pebruari 1991).



Pembuatan sinetron klasik ini, menurut laporan Mutiara Minggu III November 1990, menghabiskan waktu tiga bulan. Selain di studio alam, sinetron ini juga mengambil lokasi di beberapa tempat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Padang. Semua rumah bergaya adat Minangkabau yang digunakan untuk pembuatan sinetron ini sengaja dibangun sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan dan menghabiskan biaya besar. Rumah panggung dari kayu beratap sirap. Atap di sebelah kiri dan kanan tinggi mengerucut, tampak seperti tanduk kerbau.



Penggarapan karya sastra ke sinetron, menurut sutradara Putu Wijaya dan sastrawan Taufik Ismail memerlukan keterlibatan pihak lain seperti budayawan, sastrawan, produser, akademis, guru, sutradara dan penulis skenario. Mereka itu perlu melakukan diskusi yang mendalam untuk memperoleh hasil yang optimal (Hasil wawancara 20 Juli 2009 dan 25 Januari 2009). Dalam kaitan itu, pihak TVRI pun dalam menggarap sinetron Sitti Nurbaya, menyelenggarakan seminar  dengan topik,Sitti Nurbaya Versus Nasib Wanita Masa Kini. Seminar ini diselenggarakan pihak TVRI bekerjasama dengan majalah Femina di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tanggal 10 November 1990.



Kegiatan seminar tersebut membuktikan bahwa, penggarapan sinetron Siti Nurbaya versi TVRI tidak asal jadi. Melainkan melalui diskusi yang melibatkan banyak pihak dengan narasumber yang berkompeten di bidangnya seperti sastrawan Supardi Djoko Damono, sejarawan Taufik Abdullah, sosiolog, Julia Suryakusuma, dramawan Ratna Sarumpaet, sutradara Ali Shahab, direktur TVRI ketika itu, Ishadi SK, wartawan dan budayawan Goenawan Mohamad.

 

Setelah sinetron Sitti Nurbaya ditayangkan TVRI, pihak TVRI pusat Jakarta kembali menyelenggarakan seminar bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI), Balai Pustaka, Majalah Hai dan Tabloid Citra.Seminar tersebut membahas tentang,Karya Sastra sebagai Alternatif Karya Sinetron. Pengarang NH Dini yang tampil sebagai pembicara mengatakan bahwa, pengangkatan karya sastra dalam bentuk sinetron sudah seharusnya dilaksanakan.Ia mengakui, bagaimana sukarnya mengarahkan para remaja untuk membaca buku, apalagi membaca buku sastra. Kesukaran itu menurut NH Dini akan berlipat ganda kalau ketebalan buku melebihi seratus halaman, cukup menakutkan bagi anak yang bukan pecandu bacaan (Suara Karya Minggu II, November 1991).


Ketika penulis satu mobil dengan NH Dini, pengarang angkatan 66 ini menjelaskan, para remaja tidak bersemangat membaca buku-buku sastra, apalagi karya-karya terbitan tahun 1920 dan 1930-an. Masalahnya, gaya bercerita yang bertele-tele, bahasa yang kurang dimengerti, dialog yang membosankan dan tema cerita agak kolot, untuk ukuran sekarang. Dengan demikian, mengangkat karya sastra ke dalam sinetron sangat ampuh memikat pemirsa. Hal ini dinilainya sangat positif, sehingga siswa tidak canggung mengikuti pengarahan guru di kelas untuk menuju pengenalan karya sastra yang lebih jauh 

Pada kesempatan lain, seminar serupa juga diselenggarakan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang, 14 Oktober 1991. 


Seminar tersebut mengambil topik, Skenario, Sinetron dan Novel Sitti Nurbaya, sebagai respon dari berbagai pendapat yang pro dan kontra terhadap penayangan Sitti Nurbaya. Sinetron produksi TVRI itu, ketika itu menjadi pembicaraan hangat di masyarakat Sumatera Barat, dari tingkat propinsi, kabupaten sampai ke desa.


Penulis, I Nyoman Suaka, Dosen kajian sastra dan Budaya IKIP Saraswati Tabanan, Bali


Tokoh rekaan Sitti Nurbaya, lahir, besar dan meninggal di Sumatera Barat dalam tradisi Minang. Sampai sekarang tokoh Ini mendapat simpati dari kaum muda di tanah air mereka mengenalnya melalui pelajaran sastra di sekolah. Pengenalan terhadap tokoh ini juga melalui cerita-cerita lisan karena kisah cintanya yang tak sampai dengan Samsulbahri. Bahkan, sebagian masyarakat di Sumatera Barat sendiri menganggap Sitti Nurbaya sebagai mitos yang pernah hidup, kata sopir taksi ketika mengantar penulis berziarah di kuburan Sitti Nurbaya. 


Kuburannya di sebuah bukit,  melewati muara sungai. Makam Sitti Nurbaya ramai dikunjungi pasangan muda-mudi memohon agar cintanya abadi.

Lokasi yang indah itu sekarang dijadikan taman wisata Sitti Nurbaya oleh Dinas Pariwisata pemerintah kota Padang. Bahkan, jembatan baru yang megah, menuju makamnya disebut jembatan Sitti Nurbaya. Jembatan baru tersebut diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat, Zainal Bakar tanggal 10 Agustus 2002. Ketika peresmian jembatan itu artis pemeran Sitti Nurbaya, Novia Kolopaking, Samsulbahri (Gusti Randa) dan Datuk Maringgih (H.M.Damsyik) hadir karena diundang khusus oleh pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, nama Sitti Nurbaya sebagai tokoh fiksi dalam dunia sastra, sinetron dan pariwisata terbukti sangat populer dan melegenda di hati masyarakat Indonesia.  (Penulis, Dosen Kajian Sastra dan Budaya IKIP Saraswati Tabanan, Bali / Editor : Guntur Surentu)

Komentar

Tampilkan

Terkini

+