Iklan

Sastrawan Navis Lewat Tema Lokal Tembus UNESCO

Media Berita6
01 Desember 2024, 12:08 PM WIB Last Updated 2024-12-01T05:10:08Z

Penulis dan buku karya bersama

Mediaberita6 - Sastrawan Ali Akbar (A.A.) Navis merupakan sosok pengarang yang unik dan khas asal Padang Panjang Sumatera Barat (Sumbar). Ketokohan sastrawan ini, diseminarkan dalam acara Peringatan 100 Tahun A.A. Navis di auditorium Perpusnas Jakarta, 28 November lalu. Pengarang asal Sumbar lainnya banyak mengungkapkan  kebudayaan Minangkabau, tetapi Navis masih berkutat dengan tema lokal, problem khas keseharian warganya. 



Mengenai tradisi khas Minangkabau, merantau misalnya, Navis mempunyai konsep tegas seperti dimuat Kompas, 9 Oktober 1992. Sastrawan kelahiran 17 November 1924 ini berniat tidak akan pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Kebanyakan para sastrawan hijrah ke Jakarta atau ke kota-kota lain meninggalkan tanah kelahirannnya. Navis berkomentar, “Apa tujuan harus pindah ke Jakarta, Bukittinggi, atau Yogjakarta, hanya soal tempat dan lingkungan, tetapi akhirnya hanya kreativitaslah yang menentukan keberhasilan (Atisah, dkk. 2002). Penegasan tersebut dibuktikannya sendiri bahwa sumber ilham yang diperoleh untuk karya-karyanya berasal dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Sumber penggalian cerita  adalah lingkungan hidup  yang coraknya biasa-biasa saja, tentang pikirannya, tentang tingkah laku masyarakat Minang di pedesaan. 



Navis mulai dikenal pertama kali melalui karya yang berjudul Robohnya Surau Kami selanjutnya disingkat RSK yang dimuat dalam majalah Kisah pada tahun 1955. Sekaligus sebagai pemanang kedua dalam lomba yang diadakan majalah tersebut. Karya Navis yang sangat terkenal adalah novel Kemarau, memperoleh hadiah Seni dari Depdikbud (1988), novel Saraswati dalam Sunyi (memperoleh penghargaan dari UNESCO (1967), cerpen Jodoh, menyabet hadiah Kincir Emas dari Belanda (1975), cerpen Kawin, mendapat hadiah dari majalah Femina (1978). Navis pernah mendapat hadiah SEA Write Awards (1992) dari Thailand. Terakhir ia mendapat penghargaan dari UNESCO (22 November 2023) atas sumbangsihnya di bidang sastra dan budaya. 



Organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan dunia ini kemudian memperingati 100 tahun hari kelahiran Navis  secara internasional di Paris. Perayaan tersebut juga menggema secara nasional di Indonesia, termasuk Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) berkerjasama dengan Badan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menyelenggarakan Peluncuran Buku 100 Tahun A.A, Navis, Pameran A.A, Navis, Seminar dan Diskusi Terpumpun HISKI se-Indonesia di Jakarta (27-30 November 2024). Kegiatan perayaan dengan apresiasi sastra mengenang Navis juga digelar  Balai Bahasa di berbagai daerah di tanah air.



Tema Lokal.

Karya-karya Navis yang diganjar berbagai penghargaan tersebut, mengandung konsep, gagasan, dan pemikiran yang cemerlang. Navis bercerita tentang permasalahan yang kompleks, seperti dalam cerpen Robohnya Surau Kami (RSK) dan novel Kemarau. Dua karya fiksi ini banyak mendapat tanggapan dari para kritikus karena RSK sempat menjadi polemik di masyarakat. Cerpen ini pernah dialihwahanakan ke dalam pementasan teater oleh sutradara Edi Anwar. Pengarang Navis tetap komitmen mengangkat situasi kedaerahan Minangkabau yang diistilahkan dengan warna lokal.  



 Navis mengakui, istilah warna lokal diperolehnya dari G. Thermoshuizen, salah seorang juri sayembara Kincir Emas 1975 dalam pidato pemberian hadiah cerpen Jodoh, (karyanya sendiri) di Hilversum Belanda tahun 1976. (Horison, No. 2, Pebuari 1985). Dalam pidato tersebut, Thermoshuizen mengatakan, “cerpen jodoh memiliki warna lokal yang tidak akan ditemui di tempat lain. Maksudnya, ialah latar belakang sosiologis yang memberikan warna yang berbeda jika ditulis oleh pengarang dari suku bangsa lain, meski tema dan jalan ceritanya sama. 



Walaupun Navis paham betul dengan falsafah kebudayaan Minang, tetapi dalam RSK dan Kemarau, ia mengangkat masalah yang sederhana. Cerita kesederhanaan warga kampung itu, ternyata mengantarkan nama Navis ke tingkat nasional bahkan diakui dunia internasional oleh Unesco. Kondisi surau yang hampir roboh, musim kemarau, tradisi ngobrol (ngerumpi) di kampung, dan percaya dengan dukun (pawang hujan) adalah sumber inspirasinya. Semua peristiwa itu, adalah isi alam yang dapat diambil hikmahnya untuk dijadikan bahan pembelajaran ibarat seorang guru. “Alam terkembang jadi guru,” demikian falsafah kebudayaan Minang. 



Cerita novel Kemarau, menurut Navis  terpengaruh iklim pada saat itu. Musim kemarau sangat panjang. Di sekitar Maninjau, tempat ia bermukim saat itu, hampir di setiap masjid orang mengadakan sembahyang kaul meminta hujan semalam suntuk. Tujuannya agar hujan diturunkan Tuhan dari langit, sedangkan di dekat masjid-masjid itu, Tuhan telah menciptakan air sedanau. Dalam kesempatan yang berbeda, Navis  sempat menonton film Pekan Asia di Jakarta yang memutar sebuah film Jepang berjudul Naked Island. Film tersebut menceritakan satu keluarga Jepang yang tinggal di sebuah pulau tandus. Untuk keperluan air minum, mandi bahkan guna menyirami tanaman sayurnya, suami isteri itu mengambilnya ke pulau lain. Dua peristiwa  yang berbeda tempat dan media ekspresi itu, menginspirasi Navis menulis novel Kemarau.



Memberikan bobot pada novel itu, Navis memposisikan tokoh Sutan Duano sebagai tife ideal versi Islam. Terdapat beberapa alasan Navis memunculkan Sutan Duano sebagai tokoh utama dalam novel itu yakni, di Sumatra Barat banyak ulama Islam terkemuka berasal dari orang-orang yang tobat atau sadar setelah masa mudanya menjadi bergajul atau bajingan. Orang-orang yang tobat umumnya lebih konkret amal salehnya daripada orang-orang beramal karena tradisinya menghendaki itu. 



Alasan lain, bagi penduduk Minangkabau, Islam bukan saja sebagai agama tetapi juga menjadi kultur. Memajukan bangsa Indonesia dengan memakai kulturnya  akan lebih mudah daripada dengan memasukkan ajaran baru seperti sosialis, komunis atau ajaran lainnya. Kepemimpinan Islam (ulama) lebih dipercaya rakyat dari pada pimpinan lainnya. Menurut Navis, dengan melaksanakan penyempurnaan agama Islam yang menjadi keyakinan penduduk Indonesia, akan lebih mudah dan tepat dijadikan alat untuk meningkakan kehidupan bangsa Indonesia (Navis dalam Eneste, Ed, 1982 : 68).



Tokoh Kakek Garin dalam RSK dan Sutan Duano dalam Kemarau adalah sosok orang Minang yang taat menjalankan agama. Dalam pengembangan kebudayaan Minang, budayawan Djamaris (1982/1983) mengatakan agama Islam besar pengaruhnya. Orang Minangkabau terkenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Masuknya agama Islam ke Minangkabau membawa ajaran dan hukum yang berdasarkan Al-quran dan hadis Nabi, yaitu hukum Islam yang disebut syarak. Terjadinya kesimpangsiuran antara syarak dengan adat karena orang Minangkabau terkenal kuat memegang adat di samping kuat pula menjalankan perintah agama. Dalam pandangan orang Minangkabau, agama Islam menyempurnakan dan memperkuat adat. Pepatah adat yang mengatakan, “adat bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah” dimaksudkan agar ajaran agama Islam yang masuk ke Minangkabau disesuaikan dengan adat yang berlaku. 



Hukum adat masih berlaku dan belum sepenuhnya disesuaikan dengan syarak. Memang, ada orang Minangkabau yang kuat sekali memegang ajaran agama dan menentang adatnya. Dalam golongan yang disebutkan terakhir itu, pengarang Navis berpihak dengan mengkritisi adat kebiasaan masyarakatnya. Navis ingin menjernihkan kehidupan beragama dan memurnikan agama Islam. Pemikirannya ini menarik karena mengungkapkan peristiwa unjuk rasa para roh kepada Tuhan di akhirat. Para roh ini protes kepada Tuhan karena ditempatkan di neraka, pada hal mereka adalah orang-orang taat beragama di dalam kehidupannya. 



Navis termasuk sastrawan realis dan idealis, karena tema agama sangat sensitif di lingkungan para ulama. RSK dan Kemarau nyaris seperti kasus cerpen Langit Makin Mendung yang diseret ke pengadilan. Peristiwa unjuk rasa roh-roh di neraka yang diwakili tokoh Haji Saleh kepada Tuhan bernada provokasi. Mereka itu dalam hidupnya sudah melaksanakan ajaran agama, menyembah Tuhan, membaca kitab suci, tetapi tetap dimasukkan neraka. Kesalahan mereka itu karena libidonya terlalu tinggi untuk mendapatkan surga, melupakan tugasnya dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan warganya.



Hal yang juga rawan dibicarakan adalah pernikahan sedarah (incest) akibat  kepribadian Sutan Duano. Sebagai guru ngaji, Sutan Duano sering kawin cerai dan bermain wanita di tempat pelacuran. Kepribadian ini sangat bertentangan dengan misi semua ajaran agama.  Namun pada akhirnya, karya Navis ini tidak seburuk nasib cerpen Langit Makin Mendung  karya Ki Panji Kusmin yang membawa Jassin sebagai terdakwa. Cerpen Langit Makin Mendung yang dimuat dalam majalah Sastra (Agustus 1968) dituduh telah menghina agama dan golongan tertentu. Dalam cerita itu, malaikat dilukiskan tampil di dunia dengan memakai kaca mata  dan hal lain yang mengusik perasaan umat.



Kantor majalah Sastra di Jakarta dikroyok ketika itu karena memuat cerpen Langit Makin Mendung. Penanggung Jawab Redaksi, H.B. Jassin dihukum dalam vonis Pengadilan Negeri, Jakarta. Pembelaan Jassin dalam sidang, bahwa cerpen tersebut adalah hasil imajinasi, mempunyai dunia lain dan logika lain dari karya agama. Dengan demikian tidak bisa diukur dari kaidah-kaidah agama (Jassin, 1983). Cerpen RSK, sempat menimbulkan polemik di lingkungan pembaca. Banyak orang keberatan atas karya itu karena mengandung unsur penghinaan. Navis dengan berani menulis para pemeluk agama yang menjalankan agama dengan cara  yang keliru .


Penulis (kiri) dengan Dedi Navis, putra sastrawan A.A. Navis.


Namun setelah diapresiasi, karya Navis ini bersifat universal dan melampui batas zaman. Melalui penampilan tokoh Ajo Sidi, Navis berhasil membawa kita untuk mengevaluasi diri. Bualan-bualan yang dilontarkan Ajo Sidi dengan menceritakan keadaan neraka, membuat logika  kita berpikir jauh ke depan karena terkait dengan realitas dunia saat ini.  Dialog malaikat yang menyudutkan tokoh Haji Saleh yang disimbolkan sebagai Kakek Garin,  sebagai representasi sebagian orang Indonesia yang pemalas, dan mengabaikan kepentingan antarsesama.


Pemikiran Kritis 

Dalam cerpen RSK  dan novel Kemarau,  Navis mengkritisi melalui sindiran halus terhadap golongan Islam yang menyerah begitu saja kepada tradisi, takdir, tanpa berjuang membela nasibnya. Tema dan pesan yang disampaikan pengarang terasa segar dan memberikan corak baru pada kehidupan sastra Indonesia yang bernafaskan Islam. Sastrawan Mangunwijaya (1988) menempatkan karya Navis ini sebagai sastra religiositas, sedangkan Umur Junus dalam Horison (Juni 1972, vol VII, hlm 6) mengatakan “Navis dalam dua muka.” Melalui buku Sastra dan Religiositas itu, Mangunwijaya mengatakan, ia mendukung Navis tahun 1956 dan menyayangkan Navis tahun 1967. Ada apa perjalanan hidup Navis di tahun berbeda itu?.


Cerpen RSK diterbitkan tahun 1955, dapat dipahami kejiwaan Kakek Garin ketika itu belum didukung dengan pemahaman beragama yang baik.  Mangunwijaya menyebut libido kakek sebagai sesuatu yang khas dan khusus zaman itu. Berbeda halnya dengan tahun 1967 ketika Kemarau diterbitkan. Navis dengan tegas mengatakan, agama harus diutamakan. Tokoh Masri yang menikah dengan saudara kandungnya lain ibu, Arni, harus dicegah karena menurut agama, perbuatan itu haram. Walaupun ibu kandungnya bersikukuh, agar pernikahan itu dilanjutkan karena memang Masri dengan Arni adalah pasangan yang bahagia dan harmonis. Masa lalu orang tua Masri dan Arni ingin dipendam, dirahasiakan. Tetapi ego dan super ego pengarang yang diwakili Sutan Duano mengambil jalan keterbukaan, berpihak pada ajaran agama. 


Ditinjau dari sisi keagamaan, tokoh Kakek Garin adalah penganut agama Islam tradisional, sedangkan Sutan Duano, penganut agama Islam modern. Navis merekam realitas pergulatan tradisi dan modern itu melalui karya fiksi dan nonfiksi. Pergulatan paham tersebut diistilahkan Navis dengan “Kompleks Minang”. Istilah ini merujuk sejenis pertarungan abadi dalam diri orang Minang, antara kecintaannya terhadap kampung halaman yang ideal dengan keinginannya untuk menyerap kebaruan. Pada tataran ini salah satu bentuk pertentangan itu adalah pilihan antara menerapkan ajaran Islam secara murni dengan memelihara kebiasaan-kebiasaan yang diadatkan, yang sebagiannya bertentangan dengan Islam. 


Dalam struktur sosial budaya Minangkabau, norma adat sangat kuat. Bila prinsip tersebut tidak ditaati, itu namanya melanggar adat. Sebaliknya bila prinsip tersebut ditaati, itu namanya patuh pada adat. Orang yang beradat harus patuh pada adat. Kepatuham pada adat ini dinilai Navis, sudah mendarah daging, dan dapat menghambat kemajuan.


Walaupun banyak kritikus sastra Indonesia yang menempatkan RSK dan kemarau sebagai sastra religius, tetapi  Navis tidak menempatkan karyanya sebagai alat dakwah. Seperti yang pernah ia katakan, “Saya bukanlah orang yang senang pada avontur, pengalaman besar atau pengalaman kecil, membuat aksi-aksi secara fisik, atau hidup secara liar. Karena itu saya tidak dapat menulis kisah-kisah besar atau kisah-kisah yang berat. Maka dari itu, sumber penggalian untuk cerita yang saya tulis adalah lingkungan hidup saya, yang coraknya biasa-biasa saja tentang orang-orang biasa pula, tentang pikirannya, tentang tingkah lakunya. Bahan-bahan itu saya renungkan. Bila sudah dapat polanya, lalu sayapun menulis, “ ujar Navis seperti dikutip Sumardjo (1992) dan (Atisah dkk, 2002). “Dalam saat-saat menulis, pikiran saya terus tertumpah pada penyelesaian karya itu. Malah kakus yang bau, bisa saya lupa padanya sehingga saya betah nongkrong berlama-lama sampai saya menemukan sesuatu yang saya perlukan dalam menyelesaikan karya itu” tutur Navis. 


Dikaitkan dengan kritisisme pemikiran Navis, pembaca juga diajak kritis. Untuk memahami arti judul cerpen RSK dan arti kata Kemarau memerlukan lapisan arti kedua. Kata roboh bukan semata-mata arti dalam kamus yang bermakna runtuh, atau jatuh rebah. Tetapi roboh merupakan ungkapan retoris yaitu robohnya ahlak beragama. Makna tersebut didukung kata surau yang merupakan tempat sembahyang, mengaji atau tempat belajar agama. Sudah saatnya surau ditegakkan, agar berdiri kokoh dengan melaksanakan agama sesuai ajaran Tuhan. Pengarang Navis dalam lapisan arti pertama merasa prihatin dan sekaligus menggugat. Surau sebagai tempat bermain anak-anak, tembok kayu dan dindingnya diambil untuk kayu bakar. Akibatnya surau bisa roboh, jatuh rebah ke tanah.


Demikian juga kata kemarau dalam judul novel tersebut tidak hanya berarti musim kering, kekurangan air. Tetapi kemarau dalam arti pemikiran masyarakat sekitar danau masih rendah, sering percaya pada tahyul. Masyarakat sudah karatan, tidak mau berusaha, berkeringat dan bekerja mengubah nasib.  Diksi yang dipilih Navis untuk kedua karyanya itu berlapis, sangat puitis, indah bermakna. (Penulis, I Nyoman Suaka, Dosen Kajian Sastra dan Budaya IKIP Saraswati Tabanan, Bali / Editor : Guntur Surentu)

Komentar

Tampilkan

Terkini

+