Mediaberita6 - Jakarta, 22 Juni 2025: Tepat di usia ke-498 tahun, Jakarta tak hanya dikenal sebagai kota megapolitan dengan hiruk-pikuknya, tapi juga sebagai pusat denyut budaya yang terus hidup. Dua tahun menuju tonggak sejarah emas 500 tahun, langkah-langkah untuk menjadikan Jakarta sebagai kota sinema semakin nyata. Salah satu langkah tersebut hadir melalui diskusi publik bertajuk “Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone Mengenalkan Jakarta Melalui Film”, yang digelar Sabtu, 21 Juni 2025 di JTown, Jatinegara, Jakarta Timur.
Diskusi ini menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Encu
Suhani (Kepala Unit Pengelola Gedung Pertunjukan Seni Budaya Taman Benyamin
Sueb mewakili Dinas Kebudayaan DKI Jakarta), Budi Sumarno (penulis buku Cinema
therapy, jangan Takut bikin film Pake Smartphone dan pegiat perfilman
inklusif), Anisa Nastiti ( Creative Director, Komisi Filantropi Dewan Kesenian Jakarta), dan
Yahya Andi Saputra (budayawan Betawi).
Dalam sambutannya, Encu Suhani menekankan bahwa Jakarta tak
bisa dilepaskan dari akar budaya Betawi yang kental. “Lenong, ondel-ondel,
tanjidor, kerak telor, bir pletok—semuanya bukan hanya warisan, tapi inspirasi
yang bisa divisualkan dalam medium film,” ujarnya. Ia menyambut baik penggunaan
teknologi smartphone sebagai sarana produksi film, seraya menyebut dukungan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan mimpi besar menjadikan Jakarta
sebagai kota sinema, sejalan dengan visi Wakil Gubernur Rano Karno yang dikenal
sebagai tokoh perfilman.
Budi Sumarno, yang juga penulis buku “Jangan Takut Bikin Film
Pake Smartphone”, menegaskan bahwa siapa pun kini bisa membuat film hanya
bermodal kreativitas dan gawai di genggaman. Buku tersebut memuat peta lokasi
syuting di Jakarta yang potensial, sekaligus mengajak pembuat film muda untuk
menjadikan kota ini sebagai panggung utama narasi mereka.
“Film bukan sekadar alat ekspresi, tapi juga jembatan
pengenalan budaya dan identitas kota. Jakarta punya segalanya dari sejarah, budaya, hingga dinamika urban
yang kuat,” kata Budi. “Lewat buku ini, saya ingin anak muda berani bercerita,
memfilmkan Jakarta, dan menyuarakan identitas kotanya sendiri.”
Sementara itu, Anisa Nastiti mendorong para sineas muda untuk
mengangkat cerita yang sederhana namun bermakna. “Cerita bisa lahir dari
sekitar kita. Gunakan lokasi yang mudah diakses, fokus pada situasi yang intim,
dan sampaikan melalui gambar, bukan hanya dialog,” paparnya. Menurutnya, film
adalah alat puitik yang sangat ampuh untuk menyampaikan pengalaman manusia.
Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi, menyampaikan pentingnya
menyegarkan pendekatan terhadap film budaya. “Film Betawi harus dinamis, jangan
melulu soal nostalgia. Betawi itu juga hidup di masa kini, punya tantangan
baru, warna baru. Itu harus masuk ke dalam cerita,” ujarnya.
Diskusi ini menegaskan bahwa budaya Betawi bukan sekadar
latar belakang, melainkan subjek penting yang bisa dihidupkan kembali melalui
lensa para pembuat film muda. Dari pasar tradisional, gang sempit kampung kota,
taman-taman tua, hingga hiruk-pikuk jalan protokol—semua bisa menjadi layar
besar Jakarta.
Film budaya adalah cermin sosial. Ia tidak hanya menampilkan
budaya, tetapi merekam, memaknai, dan bahkan membentuk persepsi masyarakat
tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan kemana kita akan menuju. Dan
dalam hal ini, film menjadi jalan menuju Jakarta sebagai kota yang bukan hanya
hidup, tetapi juga bercerita.
Buku “Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone;mengenalkan
Jakarta melalui Film” kini menjadi referensi wajib bagi generasi kreatif yang
ingin menjadikan Jakarta sebagai kota sinema, minat order buku bias email :
budisumarno@gmail.com. (Witaka)