Iklan

Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone, Jadikan Budaya Betawi Menjadi Nafas Jakarta Menuju Kota Sinema

Media Berita6
22 Juni 2025, 1:31 PM WIB Last Updated 2025-06-22T06:31:44Z

 

Mediaberita6 - Jakarta, 22 Juni 2025: Tepat di usia ke-498 tahun, Jakarta tak hanya dikenal sebagai kota megapolitan dengan hiruk-pikuknya, tapi juga sebagai pusat denyut budaya yang terus hidup. Dua tahun menuju tonggak sejarah emas 500 tahun, langkah-langkah untuk menjadikan Jakarta sebagai kota sinema semakin nyata. Salah satu langkah tersebut hadir melalui diskusi publik bertajuk “Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone  Mengenalkan Jakarta Melalui Film”, yang digelar Sabtu, 21 Juni 2025 di JTown, Jatinegara, Jakarta Timur.

 

Diskusi ini menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Encu Suhani (Kepala Unit Pengelola Gedung Pertunjukan Seni Budaya Taman Benyamin Sueb mewakili Dinas Kebudayaan DKI Jakarta), Budi Sumarno (penulis buku Cinema therapy, jangan Takut bikin film Pake Smartphone dan pegiat perfilman inklusif), Anisa Nastiti ( Creative Director, Komisi Filantropi Dewan Kesenian Jakarta), dan Yahya Andi Saputra (budayawan Betawi).

 

Dalam sambutannya, Encu Suhani menekankan bahwa Jakarta tak bisa dilepaskan dari akar budaya Betawi yang kental. “Lenong, ondel-ondel, tanjidor, kerak telor, bir pletok—semuanya bukan hanya warisan, tapi inspirasi yang bisa divisualkan dalam medium film,” ujarnya. Ia menyambut baik penggunaan teknologi smartphone sebagai sarana produksi film, seraya menyebut dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan mimpi besar menjadikan Jakarta sebagai kota sinema, sejalan dengan visi Wakil Gubernur Rano Karno yang dikenal sebagai tokoh perfilman.

 

Budi Sumarno, yang juga penulis buku “Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone”, menegaskan bahwa siapa pun kini bisa membuat film hanya bermodal kreativitas dan gawai di genggaman. Buku tersebut memuat peta lokasi syuting di Jakarta yang potensial, sekaligus mengajak pembuat film muda untuk menjadikan kota ini sebagai panggung utama narasi mereka.

 

“Film bukan sekadar alat ekspresi, tapi juga jembatan pengenalan budaya dan identitas kota. Jakarta punya segalanya  dari sejarah, budaya, hingga dinamika urban yang kuat,” kata Budi. “Lewat buku ini, saya ingin anak muda berani bercerita, memfilmkan Jakarta, dan menyuarakan identitas kotanya sendiri.”

 

Sementara itu, Anisa Nastiti mendorong para sineas muda untuk mengangkat cerita yang sederhana namun bermakna. “Cerita bisa lahir dari sekitar kita. Gunakan lokasi yang mudah diakses, fokus pada situasi yang intim, dan sampaikan melalui gambar, bukan hanya dialog,” paparnya. Menurutnya, film adalah alat puitik yang sangat ampuh untuk menyampaikan pengalaman manusia.

 

Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi, menyampaikan pentingnya menyegarkan pendekatan terhadap film budaya. “Film Betawi harus dinamis, jangan melulu soal nostalgia. Betawi itu juga hidup di masa kini, punya tantangan baru, warna baru. Itu harus masuk ke dalam cerita,” ujarnya.

 

Diskusi ini menegaskan bahwa budaya Betawi bukan sekadar latar belakang, melainkan subjek penting yang bisa dihidupkan kembali melalui lensa para pembuat film muda. Dari pasar tradisional, gang sempit kampung kota, taman-taman tua, hingga hiruk-pikuk jalan protokol—semua bisa menjadi layar besar Jakarta.

 

Film budaya adalah cermin sosial. Ia tidak hanya menampilkan budaya, tetapi merekam, memaknai, dan bahkan membentuk persepsi masyarakat tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan kemana kita akan menuju. Dan dalam hal ini, film menjadi jalan menuju Jakarta sebagai kota yang bukan hanya hidup, tetapi juga bercerita.

 

Buku “Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone;mengenalkan Jakarta melalui Film” kini menjadi referensi wajib bagi generasi kreatif yang ingin menjadikan Jakarta sebagai kota sinema, minat order buku bias email : budisumarno@gmail.com. (Witaka)

Komentar

Tampilkan

Terkini