Apa
Itu Moviepreneur?
Moviepreneur, adalah istilah yang lahir dari gabungan kata
“movie” (film) dan “entrepreneur” (wirausahawan). Secara sederhana, ini adalah
sineas yang berpikir sebagai wirausahawan. Mereka tidak hanya membuat film secara kreatif , tetapi juga mengelola sumber daya, jaringan,
dan hak cipta, menciptakan nilai ekonomi, sosial, dan mambangun ekosistem budaya dan film
berkelanjutan.
Seorang
moviepreneur adalah inovator sekaligus penggerak ekosistem perfilman yang
mandiri dan berkelanjutan, bukan sekadar seniman.
Moviepreneur = Film + Kewirausahaan Kreatif
Mengapa
Diperlukan?
Di
era ekonomi kreatif, film bukan hanya hiburan atau media ekspresi seni, tetapi
industri bernilai tinggi yang menciptakan lapangan kerja, memperkuat UMKM, dan
memperkuat identitas budaya nasional.
Sayangnya,
banyak sineas muda masih berpikir sebagai seniman semata. Moviepreneur
hadir sebagai pendekatan baru, mencetak sineas yang berpikir bisnis tanpa
mengorbankan nilai artistik dan estetika film.
Tujuan
Moviepreneur
1. Membangun mindset kewirausahaan dalam dunia film.
2. Meningkatkan kemandirian sineas dalam produksi, distribusi, promosi, dan pengelolaan hak cipta sebuah karya visual.
3. Mengembangkan ekosistem film berkelanjutan yang tidak hanya bergantung pada bantuan pemerintah.
4. Meningkatkan daya saing film lokal di tingkat nasional dan internasional.
5. Menciptakan lapangan kerja baru di sektor kreatif: animasi, digital content, dan OTT platform, serta lahan wahana cinema yang menuju film tourism.
1. Kreasi (Creativity) — Ide film orisinal yang relevan dengan pasar.
2. Produksi (Production) — Manajemen dan teknik produksi profesional.
3. Distribusi (Distribution) — Strategi penyaluran karya ke bioskop, OTT, festival, dan media digital.
4. Promosi (Marketing) — Strategi personal branding dan promosi lintas platform.
5. Monetisasi (Entrepreneurship) — Bisnis, investasi, diversifikasi produk turunan, termasuk merchandise, event, dan wahana film.
Ekosistem
Moviepreneur
Ekosistem
ini mencakup berbagai pihak yang saling terkait:
1.
Sineas
dan talent (aktor, sutradara, penulis, editor dan lain sebagainya)
2.
Wahana Film
3.
Investor
dan produser
4.
Platform
digital (YouTube, OTT, TikTok)
5.
Pemerintah
dan lembaga pendukung (Kemendikbudristek, Bekraf, BPI)
6.
Komunitas
film, kampus, dan lembaga pelatihan
7.
Media
dan publik
Tujuannya:
membangun rantai nilai film dari ide hingga pasar, sekaligus memperkenalkan
wahana film sebagai bagian dari strategi bisnis.
Creative Business Canvas Moviepreneur sbb:
· Value Proposition: Film bernilai artistik, komersial, dan interaktif (wahana film).
· Customer Segments: Penonton, platform digital, sponsor, investor, pengunjung wahana.
· Revenue Streams: Tiket bioskop, lisensi OTT, iklan, merchandise, event tematik, dan wahana film.
· Key Partners: Komunitas film, lembaga pembiayaan, media, institusi pendidikan.
· Cost Structure: Produksi, promosi, distribusi, manajemen hak cipta, pengembangan wahana.
· Key Activities: Produksi, pelatihan, branding, promosi, pitching investor, pengelolaan wahana film.
Kursus
Film dan Pelatihan Moviepreneur
Sebagai
Director of Creative Learning & Innovation Connecting College membuka lembaga
kursus film dan seni peran. Kurikulumnya tidak hanya mengajarkan teknik
pembuatan film, tetapi juga strategi pemasaran, manajemen produksi, dan menjaga hak cipta kreatif.
Pendekatan
ini bertujuan untuk mencetak sineas muda yang mampu mengelola karya mereka
sebagai bisnis, sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru melalui film, event,
dan wahana interaktif.
Dampak
Sosial dan Ekonomi
·
Menambah
jumlah film lokal yang berdaya jual
·
Menciptakan
lapangan kerja di sektor kreatif
·
Memperkuat
ekonomi daerah berbasis film
·
Menumbuhkan
kesadaran hak cipta dan distribusi digital yang adil
·
Mengintegrasikan
film dengan pariwisata melalui wahana film, memperluas peluang pendapatan
Slogan
dan Filosofi
“Think
Film Like a Business, Build Business Like a Story.”
Film adalah kisah. Bisnis juga kisah.
Moviepreneur menghasilkan karya yang inspiratif sekaligus peluang bisnis yang
berkelanjutan.
Dengan pendekatan ini, industri film Indonesia dapat tumbuh mandiri, berkelanjutan, dan inklusif, serta membuka jalur baru bagi sineas muda melalui kursus, pelatihan, dan moviepreneurship di Connecting College. (Oleh: Budi Sumarno, Penulis buku Cinema Therapy, Retorika Film Layar lebar Indonesia, Praktisi Perfilman & Dokumenteries, Founder SinemaKita.com,inklusi film Indinesia, Director of Creative Learning & Innovation Connecting College)