Bogor, Mediaberita6 - Dalam lanskap perfilman Indonesia yang semakin
beragam, hadir sebuah karya yang tidak hanya berani, tetapi juga dibutuhkan. “Yang
Terluka”, film terbaru karya sutradara Rico Michael, menawarkan
pengalaman sinematik yang menyentuh, menggugah, sekaligus mengedukasi publik
mengenai kekerasan berbasis gender digital—isu yang semakin mengancam perempuan
Indonesia di era serba terhubung.
Film ini lahir dari perjalanan emosional dan intelektual
yang panjang. Titik awalnya adalah kisah nyata seorang mantan atlet bernama Harum,
perempuan yang dihancurkan oleh penyebaran konten digital tanpa persetujuan.
Namun, alih-alih mengabadikan satu narasi, Rico dan timnya melakukan riset
selama delapan bulan, mengumpulkan pengalaman dari penyintas berbagai
latar—mahasiswa, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, hingga figur publik.
Setiap potongan cerita kemudian diramu menjadi satu semesta sinema yang terasa
intim, empatik, dan relevan bagi siapa pun yang menontonnya.
“Kami ingin membuat film yang tidak hanya memotret luka,
tapi juga proses penyembuhan. Karkena perempuan bukan objek penderita,
melainkan subjek yang bangkit,” ungkap Rico.
Proses Riset, Etika, dan Keberpihakan
Riset film ini dilakukan melalui pendekatan sensitif dan
bertanggung jawab: wawancara tertutup dengan penyintas, konsultasi psikolog
trauma, hingga diskusi mendalam bersama organisasi yang fokus pada isu
kekerasan gender. Etika menjadi prioritas—nama disamarkan, identitas
dilindungi, dan alur cerita disusun untuk menghormati pengalaman nyata.
Tim penulis melakukan enam kali revisi naskah,
memastikan representasi yang adil, tidak sensasional, serta tetap komunikatif
bagi penonton umum. Para penyintas turut memberi masukan, sehingga film ini
benar-benar terasa seperti karya kolektif: suara mereka hidup di dalamnya.
Pemeran yang Terhubung Batin dengan Karakter
“Yang Terluka” didukung
deretan aktor dengan kepekaan emosional kuat: Fanny Ghassani sebagai Nadia,
mentor sekaligus penyintas yang menjadikan empati sebagai senjata penyembuhan. Vinessa
Inez sebagai Raras, tokoh sentral terinspirasi dari Harum—jujur,
rapuh, tetapi terus berjuang. Dennis Adhiswara memerankan figur publik
yang menyimpan ambisi dan manipulasi dalam relasi. Rizky Balweel membawa
perspektif laki-laki yang sering tak menyadari dampak digital abuse. Jinan Safa
sebagai Bella—muda, polos, namun menjadi simbol keberanian generasi
baru. Dwi Sasono diperankan sebagai sosok yang membawa coolness
dan ketenangan.
Para aktor mengikuti pendalaman karakter, membaca laporan
investigatif soal kekerasan digital, dan berbincang langsung dengan konselor
untuk memahami psikologi penyintas sehingga, performa akting terasa hidup—tanpa
dramatisasi berlebihan.
Produksi yang Intim dan Humanis
Proses syuting berlangsung di Jakarta, Bogor, dan Bali.
Lokasi dipilih untuk mencerminkan realitas sosial: kafe coworking, rumah
sederhana, studio olahraga, pengadilan negeri, hingga ruang terapi.
Sinematografi mengandalkan tone hangat, close-up emosional,
serta framing yang memberi ruang bagi ekspresi wajah—karena banyak trauma tidak
terucap melalui dialog, melainkan tatapan, gerak tubuh, dan keheningan.
Sementara itu, tata musik digarap minimalis dengan piano dan
string, menciptakan atmosfer lembut, sunyi, namun mendalam—menghormati
pengalaman penyintas alih-alih mengeksploitasi emosinya.
Pendampingan Ahli Hukum dan Psikologi
Untuk lebih akurasi dan
mendekatkan kenyataan dalam film ini tim produksi berkolaborasi dengan praktisi
hukum yang menangani UU ITE dan Kekerasan Berbasis Gender Online, psikolog
trauma, organisasi pendamping perempuan, dan akademisi gender & budaya
digital.
Pendekatan ini memastikan penonton bukan hanya tersentuh,
tetapi juga mendapatkan pengetahuan praktis—bahwa ada jalur bantuan, payung
hukum, dan komunitas yang siap mendampingi.
Visi: Film sebagai Gerakan Sosial
Film “Yang Terluka”
tidak dibuat untuk berhenti di layar. Ia dirancang menjadi gerakan edukasi. Rumah
produksi tengah menyiapkan serangkaian program screening & diskusi
publik di kampus dan komunitas, workshop literasi digital untuk
perempuan muda, kampanye #BeraniBersuara di media sosial, dan kolaborasi
dengan lembaga perlindungan korban.
“Kalau penonton pulang dan berkata ‘Aku harus lebih
berhati-hati dan lebih empatik’, maka film ini sudah menjalankan tugasnya,”
kata Rico.
Meski fokus pada perempuan, film ini juga ditujukan bagi
laki-laki—agar memahami perannya dalam menciptakan ruang digital yang lebih
aman. Narasinya mudah diikuti, emosinya universal, dan pesannya melampaui
gender, usia, serta kelas sosial.
Peluang Festival & Distribusi
Dengan tema sosial yang kuat dan pendekatan riset yang
serius, “Yang Terluka” direncanakan mengikuti beberapa festival film nasional
dan internasional sebelum distribusi lebih luas. Dengan dukungan PFN tim
produksi berharap film ini dapat membuka dialog global mengenai keamanan
digital, privasi, dan keadilan bagi perempuan.
Ajakan untuk Media, Komunitas, dan Penonton
“Yang Terluka” mengundang media untuk turut menyebarkan
pesan ini—bukan sekadar mempromosikan film, tetapi memperkuat gerakan empati
nasional. Film ini dirancang untuk ditonton bersama: keluarga, sahabat,
pasangan, komunitas, dan ruang-ruang diskusi. Sebab perubahan sosial tidak
lahir dari satu suara—melainkan percakapan kolektif.
Tayang Segera di Bioskop Indonesia
Di awal 2026 mendatang film ini diharapkan segera tayang,
oleh karenanya hadirlah, dengarkan, dan rasakan. Karena setiap perempuan berhak
memiliki cerita, martabat, dan ruang aman.
“Yang Terluka” — saat luka menjadi keberanian, dan
keberanian menjadi gerakan. (AA)


