-->

Iklan

Dari balik layar produksi “Yang Terluka”: Ketika Film Menjadi Ruang Aman bagi Perempuan untuk Didengar

Ali Amran
23 November 2025, 6:02 AM WIB Last Updated 2025-11-22T23:02:02Z

 


Bogor, Mediaberita6 - Dalam lanskap perfilman Indonesia yang semakin beragam, hadir sebuah karya yang tidak hanya berani, tetapi juga dibutuhkan. “Yang Terluka”, film terbaru karya sutradara Rico Michael, menawarkan pengalaman sinematik yang menyentuh, menggugah, sekaligus mengedukasi publik mengenai kekerasan berbasis gender digital—isu yang semakin mengancam perempuan Indonesia di era serba terhubung.


Film ini lahir dari perjalanan emosional dan intelektual yang panjang. Titik awalnya adalah kisah nyata seorang mantan atlet bernama Harum, perempuan yang dihancurkan oleh penyebaran konten digital tanpa persetujuan. Namun, alih-alih mengabadikan satu narasi, Rico dan timnya melakukan riset selama delapan bulan, mengumpulkan pengalaman dari penyintas berbagai latar—mahasiswa, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, hingga figur publik. Setiap potongan cerita kemudian diramu menjadi satu semesta sinema yang terasa intim, empatik, dan relevan bagi siapa pun yang menontonnya.


“Kami ingin membuat film yang tidak hanya memotret luka, tapi juga proses penyembuhan. Karkena perempuan bukan objek penderita, melainkan subjek yang bangkit,” ungkap Rico.

 

Proses Riset, Etika, dan Keberpihakan

Riset film ini dilakukan melalui pendekatan sensitif dan bertanggung jawab: wawancara tertutup dengan penyintas, konsultasi psikolog trauma, hingga diskusi mendalam bersama organisasi yang fokus pada isu kekerasan gender. Etika menjadi prioritas—nama disamarkan, identitas dilindungi, dan alur cerita disusun untuk menghormati pengalaman nyata.


Tim penulis melakukan enam kali revisi naskah, memastikan representasi yang adil, tidak sensasional, serta tetap komunikatif bagi penonton umum. Para penyintas turut memberi masukan, sehingga film ini benar-benar terasa seperti karya kolektif: suara mereka hidup di dalamnya.

 

 

Pemeran yang Terhubung Batin dengan Karakter

“Yang Terluka” didukung deretan aktor dengan kepekaan emosional kuat: Fanny Ghassani sebagai Nadia, mentor sekaligus penyintas yang menjadikan empati sebagai senjata penyembuhan. Vinessa Inez sebagai Raras, tokoh sentral terinspirasi dari Harum—jujur, rapuh, tetapi terus berjuang. Dennis Adhiswara memerankan figur publik yang menyimpan ambisi dan manipulasi dalam relasi. Rizky Balweel membawa perspektif laki-laki yang sering tak menyadari dampak digital abuse. Jinan Safa sebagai Bella—muda, polos, namun menjadi simbol keberanian generasi baru. Dwi Sasono diperankan sebagai sosok yang membawa coolness dan ketenangan.


Para aktor mengikuti pendalaman karakter, membaca laporan investigatif soal kekerasan digital, dan berbincang langsung dengan konselor untuk memahami psikologi penyintas sehingga, performa akting terasa hidup—tanpa dramatisasi berlebihan.

 

Produksi yang Intim dan Humanis

Proses syuting berlangsung di Jakarta, Bogor, dan Bali. Lokasi dipilih untuk mencerminkan realitas sosial: kafe coworking, rumah sederhana, studio olahraga, pengadilan negeri, hingga ruang terapi.


Sinematografi mengandalkan tone hangat, close-up emosional, serta framing yang memberi ruang bagi ekspresi wajah—karena banyak trauma tidak terucap melalui dialog, melainkan tatapan, gerak tubuh, dan keheningan.


Sementara itu, tata musik digarap minimalis dengan piano dan string, menciptakan atmosfer lembut, sunyi, namun mendalam—menghormati pengalaman penyintas alih-alih mengeksploitasi emosinya.

 

Pendampingan Ahli Hukum dan Psikologi

Untuk lebih akurasi dan mendekatkan kenyataan dalam film ini tim produksi berkolaborasi dengan praktisi hukum yang menangani UU ITE dan Kekerasan Berbasis Gender Online, psikolog trauma, organisasi pendamping perempuan, dan akademisi gender & budaya digital.


Pendekatan ini memastikan penonton bukan hanya tersentuh, tetapi juga mendapatkan pengetahuan praktis—bahwa ada jalur bantuan, payung hukum, dan komunitas yang siap mendampingi.

 

Visi: Film sebagai Gerakan Sosial

Film “Yang Terluka” tidak dibuat untuk berhenti di layar. Ia dirancang menjadi gerakan edukasi. Rumah produksi tengah menyiapkan serangkaian program screening & diskusi publik di kampus dan komunitas, workshop literasi digital untuk perempuan muda, kampanye #BeraniBersuara di media sosial, dan kolaborasi dengan lembaga perlindungan korban.


“Kalau penonton pulang dan berkata ‘Aku harus lebih berhati-hati dan lebih empatik’, maka film ini sudah menjalankan tugasnya,” kata Rico.

 

 Untuk Penonton dari Semua Latar

Meski fokus pada perempuan, film ini juga ditujukan bagi laki-laki—agar memahami perannya dalam menciptakan ruang digital yang lebih aman. Narasinya mudah diikuti, emosinya universal, dan pesannya melampaui gender, usia, serta kelas sosial.

 

Peluang Festival & Distribusi

Dengan tema sosial yang kuat dan pendekatan riset yang serius, “Yang Terluka” direncanakan mengikuti beberapa festival film nasional dan internasional sebelum distribusi lebih luas. Dengan dukungan PFN tim produksi berharap film ini dapat membuka dialog global mengenai keamanan digital, privasi, dan keadilan bagi perempuan.

 

Ajakan untuk Media, Komunitas, dan Penonton

“Yang Terluka” mengundang media untuk turut menyebarkan pesan ini—bukan sekadar mempromosikan film, tetapi memperkuat gerakan empati nasional. Film ini dirancang untuk ditonton bersama: keluarga, sahabat, pasangan, komunitas, dan ruang-ruang diskusi. Sebab perubahan sosial tidak lahir dari satu suara—melainkan percakapan kolektif.

 

Tayang Segera di Bioskop Indonesia

Di awal 2026 mendatang film ini diharapkan segera tayang, oleh karenanya hadirlah, dengarkan, dan rasakan. Karena setiap perempuan berhak memiliki cerita, martabat, dan ruang aman.

 

“Yang Terluka” — saat luka menjadi keberanian, dan keberanian menjadi gerakan. (AA)

Komentar

Tampilkan

Terkini