Mediaberita6 - Tayangan sinetron di Indonesia saat ini ibarat sebuah permen. Sebagian besar hanya menawarkan rasa manis dengan warna-warni tampilan yang mengenyangkan mata (Set, 2008:35). Pernyataan Set, penulis skenario sinetron ini dimaksudkan bahwa sinetron Indonesia menampilkan wajah cantik, menawan, berkulit mulus, penggambaran rumah yang super mewah, dan sejuta impian untuk menjadi bintang terkenal. Kalau pun ada simbol-simbol pendidikan, yakni memakai latar halaman sekolah atau ruangan kelas yang sebagian besar hanya bersifat tempelen belaka.
Walaupun demikian, kecenderungan menonton sinetron yang antirealitas dan berpenampilan cantik ini ternyata sangat disenangi oleh masyarakat. Dengan memperhatikan gejala seperti ini, pihak produser sinetron akan berusaha membuat sinetron yang diminati masyarakat. Setiap sinetron dan program di televisi ditentukan oleh penilaian para pemirsa melalui sebuah lembaga survei independen. Menurut Set (2008:50-54), terdapat tujuh indikator untuk menilai keberhasilan program televisi yaitu, rating acara, karakter stasiun televisi, segmen televisi, yaitu kultur geografis, kekuatan religiusitas, loyalitas pengiklan dan idealisme stasiun televisi itu sendiri. Masing-masing indikator sebagai berikut.
a.Rating Acara.
Sebuah ukuran kesuksesan acara yang dikeluarkan oleh lembaga riset pemirsa televisi, seperti AC Neilsen. Cara kerja lembaga survei ini dengan menempatkan sekitar puluhan ribu sensor yang disebut people meter di berbagai kota besar di Indonesia. Lembaga ini bersifat independen di dalam melakukan penilaian rating dari berbagai macam acara di televisi. Pola penilaian rating Neilsen ini dijadikan acuan berhasil tidaknya sebuah program ditayangkan, apakah menarik perhatian pemirsa atau sebaliknya. Semakin tinggi ratingnya, semakin tinggi nilai jual acara tersebut kepada calon pengiklan.
b.Karakter Stasiun Televisi.
Kecenderungan televisi untuk membuat program dan menargetkan pemirsa yang ingin diraihnya. Para pemirsa dinilai berdasarkan social economic status, yaitu suatu pola pemetaan pemirsa beradasarkan tingkat pengeluaran belanja per bulan.
c.Segmen Televisi
Melalui berbagai program yang khas, pemirsa umumnya dapat dipetakan dari segmen kalangan orang-orang tertentu yang membutuhkan informasi dan hiburan. Walaupun pemirsanya sangat tersegmentasi, tetapi mempunyai keunikan karena pemirsanya merupakan pasar potensial untuk jenis iklan produk tertentu.
d.Kultur Geografis
Belakangan ini tumbuh televisi-televisi lokal di Indonesia. Kekuatan lokal digunakan untuk membuat berbagai macam tayangan yang menarik perhatian pemirsa lokal yang merasa dekat dengan kandungan budaya yang ditawarkan, misalnya Bali TV dan J-TV. Stasiun Bali TV adalah sebuah TV lokal di Bali yang mempunyai penggemar fanatik karena mengedepankan nilai-nilai kebudayaan dan menggunakan bahasa Bali sebagai pengantar pada beberapa programnya. Stasiun J-TV adalah televisi lokal milik group Jawa Pos yang menarik perhatian pemirsa di Jawa Timur karena menggabungkan budaya lokal jawatimuran yang kental dengan dialek kedaerahannya.
e.Kekuatan Religiusitas
Pemirsa televisi di Indonesia mudah dipengaruhi motivasinya untuk melihat tayangan televisi yang bernuansa tayangan religi. Tayangan sinetron religi menjadi tayangan dengan rating tinggi. Kecenderungan tayangan bertema religiusitas tidak akan pernah berhenti selama pemirsa televisi di Indonesia masih membutuhkan agama sebagai pencerahan dan televisi sebagai media penyampaian yang menghibur.
f. Loyalitas Pengiklan
Beberapa program televisi yang sebenarnya tidak berating tinggi tetapi ditayangkan terus menerus oleh stasiun televisi itu sendiri. Ternyata ada beberapa pengiklan yang mempunyai pandangan lain untuk tetap membiayai program tersebut. Mereka tidak saja begitu percaya dengan perhitungan rating, tetapi yakin terhadap pilihan mereka.
g. Idealisme Stasiun Televisi
Beberapa program dibuat dengan semangat idealisme seperti acara mimbar agama, pendidikan, keagamaan, dan berbagai macam acara untuk memperingati hari-hari besar nasional.
Citra dan Gagasan
Dengan bahasa yang puitis, Bourton (2007) menyebutkan bahwa, televisi mempunyai citra dan gagasan tentang guru sebaik gagasan tentang pendidikan, televisi mempunyai citra dan gagasan tentang tentara sebaik angkatan perang, dan televisi mempunyai citra dan gagasan tentang juru rawat sebaik rumah sakit. Pandangan indah seperti ini tampaknya didasarkan atas respons dari khalayak yang mememberikan pencitraan luar biasa terhadap program-program televisi. Masyarakat dimanjakan dengan program-program televisi yang menghibur, sebagai pengisi waktu luang, dan sampai melupakan pekerjaan pokoknya.
Sebagai sebuah industri, televisi sangat bergantung pada keberadaan khalayak. Hal ini disebabkan bahwa sebagian besar pendapatan televisi swasta bersumber dari iklan. Perusahaan pengiklan, menurut Panjaitan dan Iqbal (2006:21), hanya mau atau cenderung beriklan pada suatu stasiun atau program acara jika diketahui jumlah penontonnya banyak. Sebaliknya, tanpa penonton yang banyak suatu stasiun televisi terancam bangkrut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi dari khlayak secara konkret, dilakukan penelitian tentang perilaku khalayak televisi, yakni TAM (Televison Auidinece Measurement). Penelitian itu dilakukan oleh sebuah lembaga riset internasional yang bernama Nielsen Media Research. Lembaga riset khalayak ini menghasilkan data berupa rating.
Berbagai data rating yang dikeluarkan oleh NMR ini ditindaklanjuti oleh stasiun televisi dengan sejumlah tindakan yang konkret dan cepat. Program yang memiliki rating kecil banyak yang dihentikan dan segera diganti oleh para pengelola televisi. Salah satu caranya, yaitu menduplikasi program-program yang terbukti mendapatkan angka rating yang tinggi di stasiun trelevisi lain. Beberapa contoh program yang mengalami duplikasi, seperti sinetron bertema cinta remaja, sinetron hantu dan alam gaib, acara gosip, mistik, selebritis, kriminal, dan acara lawak.
Jika suatu program acara televisi mendapat rating yang tinggi dari lembaga riset dan banyak iklannya, maka stasiun televisi lain akan segera menayangkan program serupa dengan harapan mendapatkan iklan yang banyak juga. Jika tidak, stasiun televisi tersebut atau program acaranya, dirasakan tidak layak untuk bisa bertahan. Dengan pertimbangan iklan inilah rating tiba-tiba menjadi sebuah sabda yang harus dituruti dalam sebuah perayaan ritual industri (Panjaitan dan Iqbal, 2006:22). Akibat bertumpu pada rating sebagai alat kontrol dan standardisasi utama, maka menurut Garin Nugroho (1998:99), industri televisi terjebak pada pola pikir, “yang penting sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya.”
Nugroho, seorang sutradara dan pengamat film (1998:91-92), mengatakan bahwa rating menjadi sebuah pola pikir utama yang seakan-akan memaksa semua orang untuk menggunakannya. Akibatnya, muncul ungkapan, ”Seruling cukong berdasar rating menentukan lagu yang dimainkan.” Hal ini telah menembus semua tingkat pengambilan keputusan dan sering kali mengabaikan kualitas, termasuk estetika, sosial, dan psikologis penonton.
Gara-gara Rating
Pergulatan dengan angka-angka rating dari hasil riset itu, identik dengan minat masyarakat terhadap suatu program. Pakar pertelevisian, Ishadi S.K. mengatakan bahwa sebuah program yang memiliki rating audience share yang tinggi berarti sangat digemari penonton dan umumnya menarik pemasang iklan. Rating merupakan alasan utama ditayangkannya sebuah program acara. Meskipun acara dikatakan jelek, tidak mendidik, tetapi bagaiamana pun, hal itu merupakam bentuk keinginan masyarakat sendiri. ”Ketika acara ini jelek, tetapi ratingnya tinggi, artinya apa? Ya enggak tahu ya, orang-orang suka kok. Orang suka nggak tahu alasannya kenapa? Kalau dia pengkritik atau penonton enggak suka, ya enggak suka saja,” ujar Primadi dalam buku, Matinya Rating Televisi Sebuah Ilusi Netralitas (2006:32-33).
Kepercayaan kepada rating yang dihasilkan lembaga riset telah dianggap sebagai suatu yang lazim di kalangan orang televisi. Seandainya ada kritik terhadap teks-teks budaya rendahan terhadap televisi, maka yang dijadikan alasan adalah rating. Rating dijadikan sebagai representasi selera masyarakat sehingga para pengkritiknya akan segera dikatakan sebagai orang yang sedang mengkritik mekanisme pasar (Subiakto, dalam artikelnya berjudul, “Intelektual dan Media Massa” dimuat harian Kompas, 2 Oktober 2003).
Ishadi (Kompas, 8 September 2003) mengatakan bahwa metode sistematis sampling yang digunakan dalam pencarian angka rating sudah tepat dan baik. Data rating itu layak dinyatakan sebagai hal yang mewakili sebagian besar penonton televisi di kota-kota yang diteliti. Riset seperti itu dapat memotret isi siaran televisi atau secara seketika bisa menghitung dengan tepat berapa banyak penonton sebuah acara pada suatu jam dalam kurun waktu tertentu.
![]() |
Penulis, I Nyoman Suaka, Dosen IKIP Saraswati Tabanan Bali |
Dengan demikian, televisi harus dilihat sebagai sebuah industri yang sangat berorientasi pada jumlah penonton terbesar. Oleh karena jumlah penonton inilah yang bisa dibawa dan ditawarkan kepada pemasang iklan. Ketika suatu program acara memiliki rating tinggi, itu artinya banyak orang yang menyukai tayangan tersebut. Maka dari itu, dalam konteks budaya populer, terjadi hal yang sebaliknya. Televisi menonton anda, bukan anda menonton televisi. Sebab jumlah pemirsa ini akan dijadikan alat ukur dalam memproduksi siaran. (Penulis, I Nyoman Suaka, IKIP Saraswati Tabanan Bali / Editor : Guntur Surentu)