
Mediaberita6 - Seiring dengan bergulirnya wacana Hak Asasi Manusia (HAM), terutama kebebasan untuk memeluk dan menjalankan ibadah agama, maka etnis Tionghoa sejak Presiden Abdulrahman Wahid memulai babak baru. Perlu dicatat, peran penting Presiden Gus Dur yang membuka kran untuk menghidupkan kembali kebebasan umat beragama di Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Kepres No. 6 tahun 2000 mengenai pencabutan Intsruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina. Dengan peraturan baru ini, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa tidak lagi memerlukan izin khusus seperti tahun-tahun sebelumnya.
Presiden Gus Dur juga pada tahun 2001, menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif. Selanjutnya Presiden Megawati, menghadiahkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2002 dan berlaku sampai sekarang. Rekognisi tentang warga Tionghoa tidak terbatas hanya pada bidang agama, melainkan juga berlanjut pada bidang sastra dan budaya Tionghoa. Era demokerasi sekarang ini betul-betul warga Tionghoa mendapatkan kebebasan untuk mempertunjukkan budayanya melalui pertunjukkan Barong Sai, Liong Samsi, ritual-ritual budaya, pemberian angpao dan pernak pernik Imlek. Di bidang kesusastraan, tercatat dalam sejarah sastra Indonesia, pernah muncul kesusastraan Melayu Tionghoa. Karya sastra tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah, berkembang di era akhir 1890 sampai pertengahan tahun 1950-an.
Bahasa Melayu rendah dapat diartikan sebagai bahasa yang mudah dimengerti dan menjadi bahasa sehari-hari sebagian besar penduduk Indonesia (Hindia Belanda) ketika itu. Istilah bahasa Melayu Rendah diperkenalkan oleh pemerintah kolonial untuk membedakan dengan bahasa Melayu Tinggi yakni, bahasa Melayu yang lebih baku dan terpandang. Karya-karya dalam kesusastraan Melayu-Tionghoa biasanya merupakan saduran atau terjemahan karya sastra berbahasa Cina, saduran atau terjemahan novel di negeri asalnya, atau hasil karya si penulis itu sendiri. Di luar dari karya terjemahan atau saduran, penulis mengangkat tema mengenai kondisi sosial masyarakat di Indonesia.
Karya-karya kaum peranakan Tionghoa ini dianggap sebagai bacaan liar oleh Balai Pustaka saat itu. Balai Pustaka dengan kewenangannya, menganggap karya ini bermutu rendah karena tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi dan bahasa baku seperti yang digunakan Balai Pustaka. Kandungan dari karya sastra Melayu Tionghoa ini tidak menggambarkan citra baik pemerintah kolonial Belanda seperti yang dimuat dalam buku-buku terbitan Balai Pustaka. Kondisi tersebut diperburuk lagi karena dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, penulis keturunan Tionghoa belum dianggap sebagai bagian masyarakat Indonesia.
Penulis keturunan Tionghoa tersebut hanya dianggap sebagai kalangan perantau. Walaupun dimarginalisasi, karya-karya sastra Melayu Tionghoa sangat dekat dengan pembaca dari kelas bawah. Hal ini disebabkan, kemudahan memperoleh karya tersebut melalui media massa karena dimuat secara bersambung. Karya-karya sastra Melayu Tionghoa dirasakan memberi dampak dari segi pengetahuan dan hiburan bagi masyarakat zaman tersebut. Dengan demikian, sudah sepatutnya keberadaan sastra Melayu Tionghoa dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia.
Objek Kajian
Beberapa peneliti melakukan kajian terhadap Sastra Melayu Tionghoa baik sarjana asing maupun dalam negeri. Peneliti asing yang tertarik dengan sastra Peranakan Tionghoa adalah, Claudine Salmon (1985), Nio Joe Lan (1958), Katrin Bandel (2013), Marcus A.S. dan Pax Benedanto (2000). Dari sarjana Indonesia seperti Jakob Sumardjo (1989), Suryadinata (1986), Faruk, dkk (2000), Ryadi (2001) dan Tim Dari Pusat Bahasa (Saksono Prijanto, Elis Nur Mujiningsih, dan Joner Sianipar) tahun 2007. Beberapa penelitian tersebut memuat tentang sejarah lahirnya Sastra Melayu Tionghoa, jenis karya sastra, ringkasan novel dan pengarangnya, serta dianalisis dari konteks sosial budaya zaman kolonial. Satu buku kritik hasil penelitian tentang konsep sosial ideologis kritik sastra Tionghoa Peranakan dari Faruk, Bakdi Soemanto dan Bambang Purwanto, ketiganya dosen Universitas Gajah Mada.
Pembicaraan sastra tentang jati diri kelompok cina atau Tionghoa di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Jawa (Indonesia) sebelum akhir abad ke 19, menurut Suryadinata (1994:24) bukan berasal dari keluarga terpandang. Mereka yang dianggap sebagai pemimpin di Jawa pada waktu itu adalah para opsir (pejabat) yang ditunjuk oleh Belanda. Penunjukkan itu ditunjukkan berdasarkan pengaruh yang mereka miliki terutama kekayaan. Kekuasaan diberikan kepada mereka oleh Belanda. Fungsi mereka bertanggung jawab atas beberapa hal seperti peraturan dan undang-undang pemerintah kepada masyarakat Tionghoa. Tugas tersebut terutama dalam pengumpulan pajak yang harus dibayar oleh masyarakat Tionghoa. Dengan demikian, jelas bahwa para pemimpin tersebut tidak mungkin mengembangkan gerakan nasionalisme Tionghoa di Jawa (Suryadinata, 1994:24).
Secara kontekstual marginalisasi sastra Peranakan Tionghoa era kolonial, terus berlanjut pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Penyebabnya bukan karena rendahnya kualitas sastra itu sendiri. Beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru yang membungkam identitas etnis Tionghoa seperti Intruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina dan Intsrukri Presiden Nomor 1470/1978 tentang pengakuan pemerintah terhadap lima Agama. Selain itu terdapat 50 aturan di bawahnya setingkat peraturan pemerintah yang menghambat proses asimilasi atau keseragaman budaya. Walaupun berbicara tentang sastra sebagai karya fiksi, akan tetapi sangat dirasakan bahwa identitas etnis dan peraturan tersebut membatasi kiprah warga Tionghoa.
Ketika awal zaman Orde Baru sekitar tahun 1967, pemerintah membatasi kiprah warga Tionghoa. Hal ini terjadi karena, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa yang berasal dari negeri leluhurnya dianggap menghambat proses asimilasi dan keseragaman budaya di Indonesia. Masalah tersebut diundangkan melalui instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang, Agama, Keperayaan, Adat Istiadat Cina. Dalam peraturan tersebut Presiden melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan badan terkait, serta pemerintah pusat dan daerah melakukan beberapa hal yang dinilai terlalu mengintervensi dan mengkotak-kotakan warga Tionghoa, sehingga terpisah dengan warga pribumi.
Agama dan Kepercayaan
Paling tidak terdapat tiga hal yang membuat warga Tionghoa merasa dikesampingkan. Pertama, tidak mendapat jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadah. Tata cara ibadah Cina memiliki aspek afiliasi kultural yang berpusat pada negeri leluhurnya. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan saja. Kedua, Perayaan-perayaan agama dan adat istiadat Cina tidak boleh secara menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam hubungan keluarga. Ketiga, Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa di atur oleh Menteri Agama, setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung, sebagai pengawas aliran keperacyaan ketika itu.
Masalah tersebut sangat merugikan etnis Tionghoa. Kondisi ini diperparah lagi dengan hadirnya Instruksi Presiden No. 1470 tahun 1978. Inpres tersebut menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Diskriminasi bagi umat Khong Hu Chu, tidak berhenti sampai disitu. Menurut Hendri Gunawan dalam Majalah Nation Building (edisi ke-14 tahun 2016), setidaknya terdapat 50 peraturan perudang-uandangan (perpu) yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa yang kebanyakan menganut agama Kong Hu Chu, seperti perpu ganti nama bagi warga negara Indonesia yang menggunakan nama Tionghoa, perpu tentang larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala barang cetakan dalam huruf, aksara dan bahasa Tionghoa.
Sebagai salah satu contoh, penganut agama Kong Hu Chu sebelum reformasi tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan menuliskan nama agama Kong Hu Chu. Mereka boleh meminta KTP, asalkan agama yang ditulis dalam kolom agamanya asal bukan agama Kong Hu Chu. Mereka umumnya memilih agama Budha atau Kristen dalam KTP, semacam kiat khusus untuk mendapatkan identitas diri. Itu contoh zaman dulu. Lain dulu, lain sekarang.
![]() |
Penulis : I Nyoman Suaka |
Suasana kini sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Kegundahan warga etnis Tionghoa dengan berbagai peraturan perundang-undangan tentang budaya sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga karya-karya kesusastraan peranakan Tionghoa di era tahun 1920-an kini bangkit kembali dan banyak beredar di toko buku. Bahkan tidak tanggung-tanggung, buku sastra itu terbit berseri dari jilid 1 sampai 8 bertajuk Sastra Melayu Peranakan Tionghoa. Warga Tionghoa kini hidup berdampingan dan berbaur dengan warga lainnya di Indonesia. Masyarakat merayakan perbedaan. Selamat Tahun Baru Imlek, Gong Xi Fa Chai. (Penulis, I Nyoman Suaka, Dosen Kajian Sastra dan Budaya IKP Saraswati Tabanan, Bali / Editor : Guntur Surentu)