![]() |
Festival Nyurat Lontar dan Ngetik Aksara Bali di gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Art Center Denpasar (Sumber foto : BaliPost.Com) |
Mediaberita6 (Bali)- Kalau anda berkunjung ke Pulau Bali belakangan ini, akan dijumpai suasana berbeda. Di desa, di sekolah , di kantor yang terkait dengan pendidikan dan kebudayaan menunjukkan aktivitas lain dari biasanya. Pada bulan Pebruari 2025 , sebulan penuh diadakan peringatan Bulan Bahasa, Sastra dan Aksara Bali seperti festival lomba pidato (mapidarte), membaca (mace) puisi Bali, lomba lagu (magending) Bali, menulis (nyurat) aksara Bali. Acara juga menyasar anak muda dengan melibatkan penggunaan flatform digital seperti media sosial. Dalam lomba pembuatan film pendek berbahasa Bali, misalnya, melibatkan penggunaan media sosial seperti face book, instagram, Tik Tok dan poster berbahasa Bali.
Kegiatan ini sebagai langkah antisipasi Pemda Bali atas kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah Bali. Bukan tahun ini saja, Bulan Bahasa , Sastra dan Aksara Bali pertama kali dilaksanakan sejak 2018. Program ini berlanjut secara rutin setiap tahun di Bali. Bulan Bahasa dan Sastra Bali betul-betul masif sampai ke tingkat pemerintahan desa dinas dan desa adat. Tujuannya untuk menjaga dan memajukan bahasa dan aksara Bali sebagai wujud implementasi Perda Provinsi Bali No 1 tahun 2018 dan Peraturanm Gubernur Bali No. 80 tahun 2018.
Bahasa daerah atau bahasa Ibu di Nusantara, umumnya mengalami nasib memprihatinkan. Sejak digulirkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1998 tentang otonomi daerah (otda) , sebenarnya Pemda memperoleh peluang terbuka agar bahasa ibu dikelola dengan lebih baik. Namun, tidak banyak pihak memperhatikan masalah bahasa daerah. Mereka terlalu asyik dengan persoalan politik, ekonomi, pemerintahan, sehingga unsur kebudayaan yang satu ini dilupakan. Sesuai dengan Undang-undang Otda yang ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah no. 25 tahun 2000, urusan bahasa dan sastra daerah menjadi urusan penmerintah daerah, sedangkan bahasa dan sastra Indonesia menjadi urusan pemerintah pusat.
Pemda Bali ternyata sangat bijak karena memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan bahasa dan sastra Bali dibandinghkan dengan propinsi lain. Beberapa Gubernur di tanah air akan menghadapi masalah pelik dalam penanganan bahasa daerah. Sebab di satu daerah setingkat propinsi, ada yang memiliki puluhan bahasa daerah yang masih hidup sebagai sarana komunikasi antarwarganya. Kondisi ini dijumpai di NTT, Kalimantan dan Papua. Dapat dibayangkan, di satu kabupaten saja di NTT memiliki beberapa bahasa daerah, seperti diakui mahasiswa asal Sumba, Manggarai, Flores, kepada penulis.
Hampir sama dengan NTT, di propinsi Kalimantan Tengah terdapat 28 bahasa. Salah satu bahasa yang paling banyak penuturnya, bahasa Dayak Ngaju dijadikan muatan lokal pada sekolah di sana. Anehnya sampai sekarang Kalteng belum memiliki bahasa daerah resmi. Maka dari itu, wajarlah kalau Kepala Kantor Bahasa Palangkaraya Kalteng, J. Kalamper ketika itu mengusulkan agar bahasa Dayak Ngaju diresmikan sebagai bahasa daerah resmi setempat. Pernyataan dengan penuh semangat itu disampaikannya ketika Konfrensi Bahasa Daerah awal November 2000 di Jakarta. Namun sayangnya, usulan itu dinilai salah alamat, karena harus diusulkan ke DPRD Palangkaraya, seperti amanat Undang-undang Otda tentang bahasa dan sastra daerah.
Bahasa Daerah Punah
Hasil riset seorang linguis, Grames menyebutkan Indomesia memiliki 672 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, tiga bahasa daerah sudah punah karena tidak ada lagi penuturnya. Kalau bahasa daerah ini dihubungkan dengan wilayah administrasi pemerintahan, maka provinsi-provinsi di bagian timur Indonesia, memiliki bahasa daerah jauh lebih banyak daripada propinsi-propinsi di bagian barat Indonesia, Kecendrungannya adalah, semakin ke arah timur, jumlah bahasa daerah semakin banyak. Akan tetapi jumlah penutur, untuk setiap daerah itu semakin berkurang, seperti propinsi NTT, Maluku dan Papua. Jumlah penutur yang relatif sedikit ini mempercepat kepunahan suatu bahasa.
Hasil riset seorang linguis, Grames menyebutkan Indomesia memiliki 672 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, tiga bahasa daerah sudah punah karena tidak ada lagi penuturnya. Kalau bahasa daerah ini dihubungkan dengan wilayah administrasi pemerintahan, maka provinsi-provinsi di bagian timur Indonesia, memiliki bahasa daerah jauh lebih banyak daripada propinsi-propinsi di bagian barat Indonesia, Kecendrungannya adalah, semakin ke arah timur, jumlah bahasa daerah semakin banyak. Akan tetapi jumlah penutur, untuk setiap daerah itu semakin berkurang, seperti propinsi NTT, Maluku dan Papua. Jumlah penutur yang relatif sedikit ini mempercepat kepunahan suatu bahasa.
Memperhatikan ilustrasi seperti di atas, beruntunglah Bali. Masyarakat Pulau Dewata ini memiliki bahasa, sastra dan aksara Bali. Arah pembinaan dan pengembangan bahasa bali akan lebih mudah dibandingkan daerah lain. Keberuntungan ini juga diperoleh karena bahasa Bali memiliki sifat homogenitas cukup tinggi. Menurut Hasan Alwi, pakar bahasa Indonesia, ciri kehomogenitas itu ditentukan oleh kesamaan dalam hal kelompok etnik. Ciri tersebut juga dilihat dari pemakaian bahasa di lingkungan keluarga dan masyarakat. Ciri dimaksud juga dapat dilihat dengan wilayah administerasi dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan ke tingkat propinsi.
Penutur Bahasa Bali saat ini sekitar 3 juta orang lebih. Walaupun jumlah ini tergolong kecil dibandingkan bahasa daerah Jawa, Sunda. Minang, namun Bahasa Bali memiliki kekuatan dan potensi yang tidak kalah dengan bahasa daerah yang disebutkan tadi. Kekuatan ini, setidaknya ditentukan oleh tiga faktor yaitu budaya, sarana pendukung kebudayaan daerah dan pendidikan. Kita sering mendengar narasi, “landasan budaya Bali adalah bahasa, sastra dan aksara Bali.” Narasi lainnya, “kebudayaan menjadi modal pariwisata Bali” atau “kepariwisataan Bali berbasis budaya.” Ketiga narasi tersebut memperkokoh kedudukan bahasa Bali, semacam semboyan yang tidak mudah hilang dalam ingatan.
Muatan Lokal
Di bidang pendidikan, bahasa dan sastra Bali wajib diajarkan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sebagai muatan lokal. Untuk di perguruan tinggi, banyak kampus, baik negeri maupun swasta membuka prodi bahasa, dan sastra Bali. Cakupan pemberdayaan bahasa Bali kini juga diperluas dengan menempatkan tenaga penyuluh bahasa dan sastra Bali di setiap desa di Bali. Di tempat-tempat pelayanan publik, seperti nama kantor, sekolah, perbankan, bandara, dan lain-lain dipasang aksara Bali berdampingan dengan nama instansi tersebut. Di ruang tunggu bandara, misalnya, diperdengarkan suara dengan bahasa Bali sebagai terjemahan dari bahasa Indonesia atau bahasa Inggris untuk memberikan informasi kepada para tamu.
Bulan Bahasa Bali yang dibuka Sabtu, 1 Pebruari 2025, banyak mendapat perhatian dari media massa baik, media cetak, elektronika maupun media sosial. Pejabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya yang membuka acara tersebut seperti dimuat harian Nusa Bali (2 Pebruari 2025) menyebutkan Bulan Bahasa Bali terus berinovasi agar selaras dengan perkembangan zaman. Keselarasan itu mengacu kepada konsep ekosistem Kerangka Statistik Budaya (KSB) yang dikeluarkan oleh Unesco pada 2019. Bahasa, sastra dan aksara Bali kini juga sudah memasuki program komputerisasi.
![]() |
Penulis : I Nyoman Suaka |
Digitalisasi aksara Bali yang dipelopori I Wayan Suatjana putra Tabana Bali, bertujuan agar generasi muda tertarik dengan kebudayaan Bali. Sebab aksara Bali yang banyak ditulis dalam daun lontar dan naskah kuno sulit dipahami oleh anak muda. Justru dalam lontar-lontar tersebut terkandung nilai-nilai dan ajaran leluhur orang Bali baik di bidang agama, sastra, budaya, arstitektur, dan pengobatan tradisional. Sarjana asing banyak tertarik mempelajari dan mengkaji kandungan lontar. Kapan generasi muda kita?. Kini sudah saatnya generasi Bali dan Indonesia bersinergi melakukan riset budaya adiluhung itu. (Penulis I Nyoman Suaka, Dosen Kajian Sastra dan Budaya IKIP Saraswati Tabanan, Bali / Editor : Guntur Surentu).