-->

Iklan

Apa Itu Burnout: Penyebab, Akibat, dan Solusinya

Media Berita6
04 September 2025, 8:49 AM WIB Last Updated 2025-09-04T01:52:06Z

Photo by Kampus Production (pexels.com)


Mediaberita6 - Burnout adalah kondisi kelelahan emosional, mental, dan fisik yang disebabkan oleh stres berkepanjangan, terutama di tempat kerja. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh psikolog Herbert Freudenberger pada tahun 1970-an. Burnout bukan sekadar kelelahan biasa, melainkan sindrom yang membuat seseorang merasa tidak berdaya, sinis terhadap pekerjaan, dan kehilangan motivasi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), burnout dikategorikan sebagai faktor yang memengaruhi kesehatan di lingkungan kerja, meskipun bukan penyakit medis secara resmi. Fenomena ini semakin umum di era modern akibat tuntutan hidup yang tinggi dan keseimbangan kerja-hidup yang buruk.


Penyebab utama burnout sering kali berasal dari beban kerja yang berlebihan. Ketika seseorang dihadapkan pada jam kerja panjang, deadline ketat, dan ekspektasi tinggi tanpa istirahat yang cukup, tubuh dan pikiran mulai kelelahan. Faktor ini diperburuk oleh kurangnya dukungan dari atasan atau rekan kerja, di mana karyawan merasa tidak dihargai atau tidak memiliki kendali atas tugasnya. Selain itu, perfeksionisme pribadi juga menjadi pemicu, karena individu yang selalu menuntut kesempurnaan cenderung mengabaikan batas kemampuan diri.


Penyebab lain dari burnout melibatkan ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Banyak orang yang bekerja dari rumah, terutama pasca-pandemi, kesulitan memisahkan waktu kerja dengan waktu istirahat, sehingga stres menumpuk. Faktor eksternal seperti tekanan ekonomi, masalah keluarga, atau lingkungan kerja yang toksik juga berkontribusi. Misalnya, budaya perusahaan yang mendorong "hustle culture" atau bekerja tanpa henti dapat mempercepat terjadinya burnout, terutama pada generasi muda yang rentan terhadap pengaruh media sosial.


Akibat dari burnout tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga fisik. Penderita sering mengalami gejala seperti insomnia, sakit kepala kronis, dan penurunan sistem kekebalan tubuh, yang membuat mereka lebih mudah sakit. Secara emosional, burnout menyebabkan depresi, kecemasan, dan penurunan harga diri, di mana seseorang merasa gagal atau tidak berguna. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengganggu hubungan interpersonal, seperti konflik dengan keluarga atau teman, karena penderita menjadi lebih mudah marah atau menarik diri.


Akibat lain yang serius adalah penurunan produktivitas dan kinerja kerja. Burnout membuat konsentrasi menurun, kreativitas hilang, dan kesalahan kerja meningkat, yang pada akhirnya bisa berujung pada resign atau pemecatan. Secara ekonomi, perusahaan juga rugi karena tingginya tingkat absensi dan turnover karyawan. Di tingkat masyarakat, burnout berkontribusi pada masalah kesehatan publik yang lebih luas, seperti peningkatan kasus gangguan mental yang membebani sistem kesehatan.


Untuk mengatasi burnout, langkah pertama adalah mengenali gejala dini dan mencari dukungan profesional. Konsultasi dengan psikolog atau terapis dapat membantu mengidentifikasi akar masalah dan menyusun rencana pemulihan. Penting juga untuk menetapkan batas kerja, seperti tidak memeriksa email di luar jam kerja, dan memprioritaskan istirahat yang cukup. Olahraga ringan, meditasi, atau hobi bisa menjadi cara efektif untuk mengurangi stres.


Solusi lain melibatkan perubahan gaya hidup sehari-hari. Membangun rutinitas tidur yang baik, makan makanan bergizi, dan menjaga hubungan sosial yang positif dapat memperkuat ketahanan mental. Di tempat kerja, negosiasi dengan atasan untuk mengurangi beban atau mencari peran yang lebih sesuai dengan minat bisa menjadi langkah preventif. Selain itu, perusahaan sebaiknya menerapkan kebijakan seperti cuti kesehatan mental atau program wellness untuk mencegah burnout pada karyawan.


Akhirnya, pencegahan burnout memerlukan kesadaran kolektif dari individu dan masyarakat. Dengan mempromosikan budaya kerja yang sehat dan menghargai keseimbangan hidup, kita bisa mengurangi prevalensi sindrom ini. Ingatlah bahwa burnout bukan tanda kelemahan, melainkan sinyal bahwa perubahan diperlukan. Dengan solusi yang tepat, seseorang bisa pulih dan kembali produktif, menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran berharga untuk masa depan. (Go.Ens)


Referensi :

World Health Organization (WHO) - Burn-out an "occupational phenomenon": International Classification of Diseases

Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016) - Understanding the burnout experience: Recent research and its implications for psychiatry

American Psychological Association (APA) - Burnout and Stress in the Workplace

Schaufeli, W. B., Leiter, M. P., & Maslach, C. (2009) - Burnout: 35 years of research and practice

National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) - Stress at Work

Gallup (2020) - Employee Burnout: Causes and Cures

Mind, UK (2021) - Burnout: What is it and how to cope

Hakanen, J. J., & Bakker, A. B. (2017) - Born and bred to burn out: A life-course view and reflections on job burnout

Komentar

Tampilkan

Terkini