Mediaberita6 - Band rock slengean asal Cikampek, Javanese Cat, kembali menunjukkan taring mereka lewat single terbaru berjudul “Deteriorasi.” Setelah sebelumnya sempat melunak melalui kolaborasi pop bersama Ranggart di lagu “Hal yang Sama,” trio bengal Ray, Carlos, dan Abay kini kembali ke akar liarnya dengan energi penuh amarah. Kali ini, kemarahan mereka diarahkan pada isu serius: kerusakan lingkungan dan pemanasan global.
“Deteriorasi” mengangkat keresahan manusia terhadap kondisi bumi yang semakin memburuk akibat keserakahan dan ketidakpedulian manusia sendiri. Secara harfiah, kata “deteriorasi” berarti kemerosotan atau penurunan kualitas sesuatu yang kini terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Melalui lagu ini, Javanese Cat menyuarakan kegelisahan kolektif atas alam yang terus menjerit namun sering diabaikan.
Lebih dari sekadar karya musik, “Deteriorasi” juga menjadi bagian dari kampanye yang sering dibawa Javanese Cat di berbagai panggung gigs dan kolaborasi mereka bersama Greenpeace. Melalui kolaborasi ini, band asal Cikampek tersebut berupaya mengajak masyarakat untuk lebih sadar akan tanggung jawabnya dalam menjaga keseimbangan alam.
Secara musikal, “Deteriorasi” menampilkan kombinasi riff berat dan tempo cepat prestissimo yang mengingatkan pendengar pada era awal heavy metal seperti Iron Maiden, Judas Priest, dan Deep Purple. Meski begitu, Javanese Cat tetap menanamkan elemen grunge dan cengkok Melayu yang menjadi identitas kuat mereka, menjadikan lagu ini terasa agresif namun tetap memiliki nuansa lokal yang khas.
Vokal Ray Cornell menjadi salah satu daya tarik utama lagu ini. Dengan teknik pernapasan diafragma yang kuat, Ray menghadirkan vokal tinggi yang keras dan eksperimental, namun tetap terdengar macho dan berkarakter. Energi vokalnya berpadu sempurna dengan permainan gitar dan drum yang garang, menciptakan harmoni kekacauan yang justru terdengar memikat.
Terbentuk pada 2018, Javanese Cat dikenal sebagai band multitalenta dengan karakter unik yang memadukan grunge liar, rock klasik 70-an, jazz, hingga bossa nova. Eksperimen lintas genre ini membuat mereka menonjol di skena musik independen, terutama karena keberanian mereka untuk terus bereksperimen tanpa kehilangan identitas musikal.
Musik Javanese Cat sering digambarkan sebagai pertemuan antara 90s alternative dan 70s hard rock, dengan setiap rilisan menghadirkan warna baru namun tetap memiliki “sonic blueprint” khas mereka. “Kami nggak mau terjebak dalam satu formula. Tiap lagu punya nyawa sendiri, tapi tetap terdengar kayak kami,” ujar Ray Cornell, menegaskan filosofi bermusik band yang terus berkembang tanpa takut keluar dari zona nyaman. (Go.ens)


