Mediaberita6 - Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) Rasminto mengingatkan agar perang narasi yang kerap mengiringi peristiwa bencana alam tidak mengalihkan perhatian publik dari isu paling mendasar, yakni keselamatan warga serta pembenahan akar penyebab bencana.
Hal tersebut disampaikan Rasminto dalam diskusi Green Diplomacy Network bertajuk “Quo Vadis Konstitusi dan Krisis Ekologis: Belajar dari Bencana Hidrometeorologi Sumatera” yang digelar pada Selasa (23/12/2025).
Rasminto menilai, dalam banyak kasus bencana alam—termasuk banjir besar dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera—ruang publik kerap berubah menjadi arena adu framing. Kondisi ini dinilainya berbahaya apabila diskusi publik bergeser dari analisis berbasis data menjadi pertarungan opini.
“Perang narasi yang membonceng isu bencana perlu disikapi secara bijak agar tidak mereduksi substansi upaya penanggulangan bencana dan pembenahan akar masalahnya,” ujar Rasminto kepada wartawan, Selasa (23/12/2025).
Ia menegaskan bahwa bencana tidak dapat dipahami sebagai peristiwa tunggal yang berdiri sendiri. Dalam konteks bencana hidrometeorologi, terdapat rangkaian faktor yang saling terkait, mulai dari kondisi wilayah hulu, persoalan daerah aliran sungai (DAS), perubahan tutupan lahan, tata ruang, hingga lemahnya penegakan hukum.
“Ketika diskursus publik didominasi disinformasi atau framing selektif, langkah-langkah kebijakan yang seharusnya didorong justru terpinggirkan. Padahal, publik membutuhkan penjelasan yang jernih mengenai pemicu bencana, indikator kerentanan di lapangan, serta langkah paling rasional untuk mencegah kejadian serupa terulang,” tegasnya.
Rasminto juga menyoroti dampak negatif perang narasi terhadap kerja-kerja penanganan di lapangan. Menurutnya, situasi saling menyalahkan dan delegitimasi dapat mengganggu koordinasi penanganan darurat, melemahkan dukungan pemulihan, bahkan mengaburkan prioritas utama, yakni memastikan bantuan cepat tersalurkan dan risiko lanjutan dapat ditekan.
“Komunikasi publik terkait bencana perlu dikelola dengan disiplin informasi. Setidaknya ada tiga hal yang harus dijaga bersama, yaitu keterbukaan data dan informasi, komunikasi risiko yang jelas, serta literasi publik untuk membedakan informasi faktual dengan propaganda yang berpotensi mendelegitimasi peran negara dan relawan di lapangan,” ujarnya.
Menurut Rasminto, diskusi yang sehat akan mengembalikan fokus pada hal-hal esensial, seperti evaluasi risiko, perbaikan tata kelola lingkungan, penguatan mitigasi, dan penegakan hukum.
“Fokus kita harus pada solusi, bukan pada adu serang yang tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Ia menegaskan bahwa pembenahan akar masalah harus berjalan beriringan dengan penanganan darurat. Upaya pencegahan, menurutnya, tidak cukup dilakukan secara reaktif, melainkan membutuhkan koreksi kebijakan yang konsisten, mulai dari evaluasi perizinan di wilayah rawan, pemulihan ekosistem DAS, hingga penguatan pengawasan tata ruang.
“Bencana adalah ujian tata kelola. Jika yang menang adalah perang narasi, kita akan sibuk berdebat. Namun jika yang menang adalah data dan akal sehat, kita memiliki peluang nyata untuk mencegah bencana berulang,” pungkasnya. (Byl).


