Iklan

Antara Novel dan Sinetron, Ada Apa Gerangan?

Media Berita6
21 November 2024, 3:08 PM WIB Last Updated 2024-11-21T08:25:44Z

 

Foto Illustrasi : OsloMetX (Pixabay)


Mediaberita6 - Perkembangan sinetron dan film dengan ide dasar novel sangat pesat, namun kurang mendapat perhatian dari peneliti sastra. Kajian-kajian terhadap novel sampai saat ini masih berpusat pada kajian struktur yang merupakan hak otonomi karya sastra. Padahal novel-novel Indonesia telah mengalami transformasi media karena cerita novel ditayangkan di film, televisi, drama panggung, sandiwara radio dan internet. Media-media baru ini digolongkan sebagai objek kajian dalam ruang lingkup cultural studies (kajian budaya) paradigma budaya pop.



Sejarah munculnya kajian budaya adalah di Universitas Brimingham, Inggris. Kajian budaya atau cultural studies dimulai tahun 1964 di Inggris lewat pembentukan lembaga Centre for Comtemporary Cultiral Studies (CCCS). Pendirian lembaga tersebut berkaitan erat dengan perkembangan radikal dalam masyarakat yang ditandai dengan munculnya televisi komersial di Inggris tahun 1950-an. Pengaruh dan dampak acara-acara televisi komersial itu mengkhawatirkan kalangan masyarakat Inggris yang konservatif karena sangat memuja budaya elite (high culture). Kekhawatiran itu juga dirasakan oleh guru-guru di Indonesia karena mereka merasa kesulitan memahami sesuatu yang terjadi di masyarakat dan khawatir akan dampak acara televisi terhadap murid-murid.


I Nyoman Suaka

Beberapa novel yang menjadi bacaan wajib di sekolah, baik di tingkat SMP maupun SMA serta mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia diadopsi menjadi cerita sinetron dan film. Cerita di layar televisi itu tidak sesuai lagi dengan cerita yang ada dalam buku, bahkan sangat bertentangan. Cerita novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli yang tergolong karya sastra bermutu tinggi (high culture) dalam kesusastraan Indonesia, kemudian disinetronkan menjadi produk budaya populer. Pertama kali novel Sitti Nurbaya diadaptasi menjadi sinetron oleh sutradara, Dedi Setiadi, dan penulis skenario, Asrul Sani. Sinetron tersebut ditayangkan TVRI Stasiun Pusat Jakarta pada 7, 14, 21 dan 28 September 1991, setiap malam Minggu. Tayangan tersebut kemudian diputar ulang keesokan harinya setiap hari Minggu siang selama empat episode (Kompas, 5 September 1991). Sinetron Sitti Nurbaya kembali ditayangkan setia Minggu malam pukul 24.00 WIB, mulai tanggal 9 selama bulan Januari 2011 di TVRI Pusat Jakarta.



Novel Sitti Nurbaya pernah juga disinetronkan oleh sutradara Encep Masduki, penulis skenario Deddy Armand diproduksi oleh MD Intertaiment. Sinetron versi baru itu tetap mengambil judul Sitti Nurbaya ditayangkan Trans TV pada 10 Desember 2004. Sinetron ini kemudian menjadi komoditas ekspor karena ditayangkan di stasiun TV 3 Malaysia pada tanggal 6, 7, 8 dan 9 Oktober 2008. Stasiun TPI juga menayangkan sinetron Sitti Nurbaya garapan sutradara Rizal Putra Sirait dan penulis skenario Siswanto dengan versi yang berbeda pada 28 November 2007. Sinetron yang diproduksi oleh PT Laura Film ini ditayangkan dalam paket acara Sinema Asyik TPI. Novel ini juga sempat difilmkan ke dalam layar lebar di tahun 1941 (Sen, 2009:31) dan diputar di gedung-gedung bioskop serta layar tancap. Antara sastra dan sinetron, ada apa gerangan?



Cerita Sitti Nurbaya sangat melegenda dan bersifat monumental di hati masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kepopuleran cerita Sitti Nurbaya juga dirasakan di negara tetangga Malaysia, sehingga sangat wajar kalau sinetron tersebut akhirnya ditayangkan kembali di TV 3 Malasyia karena sebagai negara serumpun dengan latar budaya sama yakni budaya Melayu. Namun dalam tayangan tersebut, sedikit berbeda dengan tayangan Trans TV, karena pada layar TV 3 Malasyia dilengkapi dengan terjemahan dalam bahasa Melayu agar lebih komunikatif dengan pemirsa di sana.



Dua sinetron Sitti Nurbaya (versi TVRI dan Trans TV) dapat dikategorikan sebagai teks pastiche. Oleh karena sinetron tersebut merupakan teks pinjaman, tiruan, dan salinan dari novel Sitti Nurbaya oleh Marah Rusli. Novel ini merupakan hasil kebudayaan masa lalu yang kemudian dihadirkan kembali ke dalam masa kini melalui bentuk sinetron. Selanjutnya apabila dilihat dari dua versi sinteron tersebut, maka Sitti Nurbaya versi TVRI mempunyai nilai nostalgia, sedangkan Sitti Nurbaya versi Trans TV mempunyai nilai hiperealitas. Nilai nostalgia itu dimaksudkan bahwa cerita novel yang dihadirkan masa kini berupa cerita sinetron, tetapi eksistensi cerita masih pada teks masa lalu. Dengan demikian, pemirsa dapat mengenang kembali kehidupan masa silam, baik yang menyangkut kebudayaan, pendidikan, maupun politik ketika zaman itu.



Berbeda halnya dengan sinetron Sitti Nurbaya versi Trans TV, sebagai teks yang mengandung hiperealitas. Sebagai teks visual yang mengandung pastiche, sinetron ini sangat radikal. Novel Sitti Nurbaya adalah karya sastra masa lalu, bahkan disebut novel klasik . Ketika karya klasik itu digarap menjadi sinetron dengan konteks kekinian, maka ia kehilangan kontak dengan realitasnya. Oleh karena menempatkan konteks modern sebagai latar cerita menjadi tanggung sebab cerita Sitti Nurbaya sudah meresap di hati masyarakat sebagai cerita yang berlatar adat istiadat Minangkabau, bukan kota metropolitan Jakarta dengan hiruk pikuknya lalu lintas serta gedung-gedung pencakar langit.



Kalau dilihat dari pengertian yang disampaikan Umberto Eco tentang pastiche, sinetron tayangan Trans TV ini dapat digolongkan pada ”perang terhadap sejarah”. Novel Sitti Nurbaya ini tercatat dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern sebagai novel yang sangat terkenal. Menurut pandangan Eco bahwa sejarah itu tidak bisa diulangi. Artinya, kehebatan novel Sitti Nurbaya ini tidak mungkin muncul untuk kedua kalinya. Akan tetapi, sejarah harus dibuat. Dengan demikian, sinetron Sitti Nurbaya Trans TV ini ingin membuat sejarah. Pihak penulis skenario dan sutradara berusaha menyusun sejarah baru melalui kreativitas tinggi untuk menciptakan inovasi-inovasi baru dalam penceritaan dan konflik tokoh. Hal ini untuk menghindari kesan negatif pastiche sebagai sinetron yang miskin kreativitas dan kebebasan.


1. Suasana Parodi
Sinetron Sitti Nurbaya versi Trans TV merupakan karya parodi, sedangkan versi TVRI merupakan karya pastiche. Versi Trans TV telah menyimpang dari teks rujukan, yakni cerita novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Sinetron ini mengambil keuntungan dari kelemahan, kekurangan, atau kehebatan novel aslinya. Novel Sitti Nurbaya diakui memiliki beberapa kelemahan seperti dialog-dialog terlalu panjang, berisi nasihat atau petuah berlebihan, pengungkapan bahasa kurang cermat dan bertele-tele, beberapa tokoh memiliki karakter kontroversial, serta mendukung paham kolonial. Kelemahan-kelemahan seperti itu menjadi sasaran sutradara membuat karya parodi. Dialog antartokoh menjadi lancar, bahasa yang digunakan adalah bahasa gaul anak muda Jakarta (kecuali Datuk Maringgih), karakter tokoh jelas dan tegas serta tidak mengandung unsur politik kolonial.


Penyimpangan seperti itu disebabkan oleh pihak sutradara ingin menampilkan cerita novel itu dengan suasana kekinian sehingga menimbulkan efek makna baru. Dalam suasana modern, unsur politik kolonial serta tokoh-tokoh yang kontroversial itu tidak mungkin dihadirkan, karena hal tersebut menyangkut sejarah lokal Minangkabau satu abad yang lalu. Dalam hal ini pihak Produser Manoj Punjabi dan sutradara, Encep Masduki, mengakui bahwa sinteron Trans TV itu adalah adaptasi dari novelnya, tetapi disesuaikan dengan keadaan zaman sekarang.


Percintaan Samsulbahri dengan Sitti Nurbaya yang berakhir dengan kasih tidak sampai, dinilai sebagai tema cinta yang sudah usang. Kalau Sitti Nurbaya sudah kawin dengan orang lain, Samsulbahri tidak perlu frustasi berlebihan, apalagi sampai melakukan percobaan bunuh diri. Dalam konteks kekinian, Samsulbahri dapat mencari gadis lain. Sindiran dan plesetan inilah yang dilakukan sinetron Trans TV sebagai karya parodi dengan menghadirkan tokoh Samsulbahri yang sering bercinta dengan gadis lain, seperti Ria dan Ima. Sebagian pembaca tidak puas dengan penokohan Samsulbahri seperti dalam novel, apalagi dia kemudian berbalik haluan, yakni bergabung dengan tentara Belanda untuk melawan Datuk Maringgih.


Unsur ketidakpuasan dan ketidaksenangan memandang Samsulbahri, juga menjadi bahan parodi bagi sinetron Trans TV. Tokoh ini dalam novel, tidak pernah secara kesatria membela kekasihnya dari perbuatan licik Datuk Maringgih. Dalam sinetron tersebut, Samsulbahri adalah pemuda pemberani dan selalu berjuang untuk membebaskan kekasihnya. Sering kali kekasihnya disekap, disiksa dan disakiti. Ia selalu berusaha sekuat tenaga untuk membebaskananya. Hal ini tidak saja dilakukan kepada Sitti Nurbaya, tetapi juga kepada calon mertuanya, Sutan Mahmud. Namun, karena kejahatan yang disertai dengan kekuatan modal Datuk Maringgih, Samsulbahri dibuat tidak berdaya. Walaupun demikian, ia tidak frustasi dan selalu berjuang demi kekasihnya. Ia berkelahi, kemudian dipukul, diikat, bahkan sampai dipenjarakan. Sebagai bukti, karya parodi dalam sinetron Trans TV ingin mengekspresikan perasaan tidak puas terhadap Samsulbahri yang dalam novel terkesan sontoloyo atau tidak berdaya.


2. Estetika Camp
Ungkapan estetika camp dalam sinetron Sitti Nurbaya memang sesuatu yang kontradiktif, terutama versi Trans TV . Di satu pihak ia berusaha membentuk makna, tetapi di pihak lain ia justru mengalami kemiskinan makna. Sinetron ini tampak bertentangan dengan sinetron versi TVRI yang digolongkan sebagai produk kebudayaan tinggi karena banyak dipuji pemirsa dan mampu mengangkat konteks cerita aslinya. Namun, dalam camp, keaslian dan keindahan tidak menjadi sesuatu yang penting. Demikian halnya yang terjadi dalam sinetron Sitti Nurbaya versi Trans TV, bahkan sinetron itu merupakann jawaban terhadap kebosanan seperti konsep camp karena cerita aselinya sudah dipakai oleh TVRI dan novelnya sudah dicetak ulang berkali-kali.


Menurut Pilliang (1999:198-200) camp adalah sebuah teriakan lantang menentang kebosanan dan sekaligus merupakan satu reaksi terhadap keangkuhan kebudayaan tinggi. Berangkat dari pendapat itulah serta didukung oleh predikat yang melekat pada novel tersebut sebagai produk budaya tinggi dan dicetak sampai 44 kali, maka sinetron Sitti Nurbaya Trans TV jelas sebagai sebuah camp. Pernyataan lain yang membuktikan bahwa versi tersebut sebagai camp, yakni karena ia mengisi kreativitas dengan melakukan peran dan sensasi lewat ketidaknormalan dan ketidakorisinilan. Pihak produser dan sutradara Sitti Nurbaya model modern memunculkan sensasi tidak wajar karena berangkat dari karya sastra bernilai tinggi. Dengan demikian, ia telah merenggut seni dari menara gading kebudayaan tinggi kemudian membawanya ke hadapan massa melalui industri budaya dan film televisi (sinetron).


Sinetron Sitti Nurbaya versi TVRI tidak dapat diketagorikan sebagai ungkapan estetik camp. Walaupun juga sebagai duplikasi, tetapi pihak sutradaranya tetap berkreativitas dengan mempertahankan keorisinilan, keaslian cerita, baik menyangkut latar, tokoh maupun alur. Di samping itu, walaupun sama-sama digolongkan sebagai industri budaya, TVRI mampu menghasilkan tayangan yang bernilai seni tinggi, sama halnya dengan novel Sitti Nurbaya. Dalam hal ini TVRI tidak merenggut seni dari menara gading kebudayaan tinggi, tetapi justru memperkaya dan memperkokoh nilai seni novel karya Marah Rusli dalam bentuk tayangan sinetron.


3. Seni Kitch
Sinetron Sitti Nurbaya, baik versi TVRI mapun versi Trans TV adalah sama-sama dapat digolongkan sebagai seni kitsch. Peranan kebudayaan media dan kebudayaan massa seperti ciri karya kitsch merupakan hal yang utama karena sinetron tersebut ditayangkan dalam media televisi sehingga dapat menyasar seluruh kelas dan lapisan masyarakat. Tayangan sinetron tersebut untuk keperluan konsumsi massa dengan maksud meraih keuntungan secara ekonomis. Keuntungan yang diperoleh, terutama terhadap stasiun Trans TV dari pemasangan iklan. Cukup banyak pengusaha yang menayangkan produknya pada paket sinetron ini dalam bentuk iklan sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi tinggi.


Stasiun TVRI walaupun dilarang menayangkan iklan, tetapi mereka mendapatkan sponsor dari Bank Rakyat Indonesia, Pemda Sumatera Barat, dan dari pihak TVRI Pusat Jakarta. Dana-dana dari sponsor ini untuk membiayai produksi sinetron Sitti Nurbaya. Sponsor ini sebenarnya bagian dari iklan itu sendiri karena mereka juga diberikan kesempatan menayangkan perusahaan atau instansinya. Walaupun bukan dalam bentuk shot iklan, tetapi terkesan sebagai iklan terselubung. Lembaga-lembaga dimaksud, termasuk logo perusahannya tampak di layar TVRI sebagai penghargaan atas dukungan dana yang telah diberikan. Para sponsor itu ditayangkan di awal cerita, akhir cerita dan setiap pergantian episode.


Kedua media televisi ini membantu memasyarakatkan seni tinggi, yakni novel Sitti Nurbaya. Novel ini, walaupun sering disinggung dalam pelajaran sastra di sekolah, tetapi kebanyakan siswa hanya mengetahui sinopsis cerita dan nama tokoh-tokohnya. Akibatnya, pemahaman dan apresiasi para siswa tentang novel ini menjadi rendah. Kondisi ini kemudian berusaha diatasi dengan mereproduksi atau mengadaptasi novel tersebut ke dalam sinetron. Reproduksi dan adaptasi tersebut merupakan istilah yang sangat penting dan menjadi ciri utama karya yang tergolong kitsch.


Ciri penting lain kitsch adalah mengadaptasi satu medium ke medium lain atau dari satu tipe seni ke tipe seni lainnya. Dalam hal ini terdapat dua medium dalam analisis ini terkait dengan kitsch, yaitu media teks tertulis dan media teks audiovisual. Teks tertulis sebagai sebuah medium berupa novel Sitti Nurbaya yang diadaptasi ke medium lain berupa teks audiovisual menjadi sinetron. Pengertian kitsch yang cukup ekstrem adalah jenis seni palsu yang murahan dan tanpa selera yang ditafsirkan sebagai sampah artisitik. Pandangan ini sangat tergantung dari respons pemirsa. Akan tetapi, secara seni postmodern itu, dinilai kurang etika, logika, dan estetika. Unsur-unsur seni modern itu dirasakan pemirsa dalam tayangan versi TVRI. Pandangan tersebut dikaitkan dengan cerita asli dalam novel Sitti Nurbaya.

4. Penanda Skizofrenia
Dari sisi estetika postmodern, seni skizofrenia ini, juga dijumpai pada Sitti Nurbaya versi TVRI, tetapi bukan merupakan penyimpangan petanda dengan penanda. Dalam episode, pegawai kapal serta militer Belanda, diperankan oleh orang Belanda sendiri sehingga wajar dalam dialognya mengunakan bahasa Indonesia kebelanda-belandaan. Bahkan juga masih ada yang berbahasa Belanda walaupun lawan bicaranya adalah orang Indonesia. Walaupun demikian, sinetron versi TVRI ini tidak sampai menggangu penafsiran pemirsa karena konteks latar cerita menghendaki seperti itu dan tidak dibuat-buat. Sebaliknya, justru banyak rekayasa terjadi di versi Trans TV.


Selain dalam aspek linguistik, kekacauan juga muncul pada gambar dan teks. Teks cerita asli Sitti Nurbaya dikacaukan oleh sutradara Encep Masduki dengan menampilkan beberapa tokoh baru. Tokoh Ria, Ima, dan tante Samsulbari, tidak ada dalam novel. Tokoh tersebut adalah rekaan baru sehingga menimbulkan kesan kontradiktif, terpecah, atau sama-samar antara teks petanda dengan penanda. Dua tokoh baru itu (Ria dan Ima) sering berhubungan dengan Samsulbahri, sebagai penggoda sekaligus perusak hubungan Samsulbahri dengan Sitti Nurbaya. Keduanya mencintai Samsulbahri, tetapi akhirnya kandas karena Samsulbahri lebih mencintai Sitti Nurbaya. Dengan kehadiran dua orang gadis itu, cerita percintaan yang ditonjolkan dalam sinetron tersebut menjadi lebih seru. Hal ini mudah menimbulkan kekacauan teks walaupun kekacauan teks itu menjadi ciri penting dalam seni skizofernia.


Dalam sinetron versi TVRI, terdapat seorang tokoh yang sengaja dihadirkan, yaitu ibu Samsulbahri. Dalam cerita novel, ibu Samsulbahri ini diceritakan sudah meninggal, tetapi dalam sinetron TVRI tokoh ini dimunculkan. Kehadirannya pun tidak begitu penting karena pihak sutradara tampaknya terbelenggu dengan cerita novel yang menyebutkan tokoh ini sudah meninggal. Pembatasan ini juga sebagai akibat bahwa sejak awal sutradara Dedi Setiadi ingin mempertahankan konteks asli cerita Sitti Nurbaya. Walaupun tokoh ini dihadirkan, tetapi tidak sampai mengganggu keutuhan cerita.


Di akhir tayangan sinetron muncul adegan yang cukup menarik. Samsulbahri berpesan kepada ayahnya bahwa kalau dirinya meninggal agar dikuburkan dekat dengan makam ibunya dan berdampingan dengan makam Sitti Nurbaya. Pesan tersebut sarat dengan makna bahwa dirinya sangat menyayangi dua perempuan itu yakni ibunya dan kekasihnya, meskipun keduanya sudah meninggal. Dalam hal ini antara petanda, (pesan) dengan penanda (makna) terjadi hubungan yang logis.


Adegan yang menarik itu sempat memusingkan Sutan Mahmud. Ia tidak paham dengan maksud itu, karena pesan itu disampaikan oleh seorang pasien di rumah sakit dalam keadaan yang sekarat. Suaranya tidak jelas akibat ia sakit parah, wajahnya diperban, dan berdarah. Ia dirawat di rumah sakit Padang karena luka-luka berat sehabis berperang. Pasien itu menggunakan seragam militer Belanda dan berkumis lebat. Sutan Mahmud kemudian menanyakan kepada dokter, siapa sebenarnya pasien tersebut. Dokter mengatakan bahwa pasien itu adalah Samsulbahri. Betapa kaget dan terkejutnya Sutan Mahmud karena anaknya dalam kondisi seperti itu. Ia akhirnya minta maaf karena Samsulbahri pernah diusir dari rumahnya. Sutan Mahmud menyadari kesalahannya dan menyesali perbuatannya. Namun, penyesalan itu tidak ada artinya, karena Samsulbahri, anak tunggal kesayangannya kemudian meninggal.


Akhir cerita sinetron versi TVRI itu cukup logis dan estetis. Gaya penceritaan seperti ini tidak dirasakan pada sinetron versi Trans TV. Ketika mengetahui, kekasihnya meninggal, Samsulbahri berziarah ke makam kekasihnya. Pada saat itu ia menyuntikkan zat berbahaya ke tubuhnya karena frustasi ditinggal Sitti Nurbaya. Sangat tidak logis, Samsulbahri ziarah membawa jarum suntik dan zat mematikan. Dalam pikiran yang kalut, ia mengambil jarum suntik itu di saku celananya dan kemudian menusukkan ke lengannya. Sikap seperti ini layaknya dilakukan oleh orang yang kecanduan narkoba. Walaupun bertentangan dengan logika, demikianlah ciri estetika postmodern yang dapat digolongkan ke dalam skizofrenia yang mencampuradukkan teks.


Persembahan sinetron Sitti Nurbaya versi TVRI merupakan pelintasan sistem tanda yang bersifat apresiasi karena tidak melakukan perusakan terhadap teks referen. Bahkan sinetron tersebut mampu memberikan penghargaan terhadap teks referennya. Adaptasi novel ini juga sebagai pelestarian cerita Sitti Nurbaya melalui kebudayaan kontemporer berupa sinetron. Selain itu, menyaksikan sinetron tersebut merupakan ajang nostalgia bagi masyarakat karena cerita Sitti Nurbaya dalam teks aslinya sangat terkenal, baik di kalangan siswa, mahasiswa, guru, dosen, pegawai, maupun ibu-ibu rumah tangga di Indonesia. Tranposisi sistem tanda yang bersifat merusak, seperti distorsi dan dekonstruksi, banyak dijumpai pada sinetron Sitti Nurbaya tayangan Trans TV. Perusakan ini meliputi unsur alur, latar, penokohan, serta unsur eksternalnya. (Penulis, I Nyoman Suaka, IKIP Saraswati Tabanan, Bali / Editor : Guntur Surentu)

Komentar

Tampilkan

Terkini

+