-->

Iklan

The Last Supper (Perjamuan Akhir)”: Film Penuh Daya Ingat dan Luka Sejarah Yang Tak Pernah Usai

Media Berita6
05 November 2025, 6:41 PM WIB Last Updated 2025-11-05T11:41:13Z

Mediaberita6 - Film terbaru berjudul The Last Supper (Perjamuan Akhir) siap mengguncang dunia perfilman Indonesia dengan kisah yang menyentuh nurani dan membuka tabir sejarah kelam bangsa. Karya ini merupakan hasil produksi Daniel Rudi Haryanto Films, Produksi Dari Hati, dan Dreamcatchers, dengan masa produksi panjang dari 2017 hingga 2025. Film berdurasi 103 menit ini hadir dalam format digital stereo, menggunakan dua bahasa Indonesia dan Jawa, lengkap dengan terjemahan Bahasa Inggris untuk menjangkau penonton internasional.


Mengusung tema sejarah dan kemanusiaan, The Last Supper membawa penonton pada perjalanan emosional tiga penyintas yang selamat dari kekerasan negara pada masa Operasi Militer Trisula di Blitar Selatan tahun 1968. Di bawah pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, operasi tersebut digelar untuk memburu sisa-sisa komunis sekaligus membungkam kaum nasionalis yang masih setia kepada Presiden Soekarno. Melalui kesaksian mereka, film ini mengungkap luka sejarah yang jarang diangkat secara terbuka di layar lebar.


Tokoh utama dalam kisah ini adalah Mbah Talam, Mbah Sukiman, dan Mbah Yatman, tiga orang tua renta yang menjadi saksi hidup kekejaman masa lalu. Mbah Talam ditahan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, sedangkan Mbah Sukiman dan Mbah Yatman mengalami penahanan selama satu tahun di Penjara Blitar. Mereka semua dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa bukti dan tanpa melalui proses pengadilan. Narasi ini disampaikan dengan pendekatan dokumenter yang jujur dan menggugah.


Meski telah puluhan tahun berlalu, status hukum para penyintas tersebut tak kunjung jelas. Hingga kini, mereka masih menyandang status pembebasan sementara tanpa keadilan yang pasti. Melalui The Last Supper, penonton diajak merenungkan bagaimana sejarah dan trauma kolektif itu masih hidup dalam ingatan masyarakat Blitar Selatan. Film ini juga menyoroti bagaimana ingatan kolektif dan bisik-bisik sejarah menjadi bagian dari identitas lokal yang terus dijaga secara diam-diam oleh masyarakat.


Salah satu kekuatan film ini terletak pada cara sinematiknya menghadirkan bentang alam Blitar Selatan  lembah, sungai, dan hutan  sebagai saksi bisu dari ribuan korban yang tak pernah ditemukan jasadnya. Setiap adegan dipenuhi atmosfer sunyi dan duka yang seolah berbicara tentang masa lalu yang belum sepenuhnya usai. Dengan tata suara stereo yang imersif, penonton seakan dibawa ke dalam ruang ingatan yang menyayat hati.


The Last Supper bukan sekadar film dokumenter sejarah, melainkan juga refleksi tentang kemanusiaan dan keberanian bersuara. Daniel Rudi Haryanto dan tim produksinya menegaskan bahwa karya ini adalah hasil dari perjalanan panjang dan penuh tantangan, bukan hanya secara teknis, tetapi juga emosional. Prosesnya yang berlangsung selama delapan tahun memperlihatkan dedikasi kuat untuk menjaga keaslian narasi dan penghormatan kepada para penyintas.


Di akhir film, penonton akan disuguhi pesan penghormatan: terima kasih kepada para penyintas yang berani membuka kembali luka masa lalu, serta kepada seluruh pihak yang telah membantu mewujudkan karya monumental ini. The Last Supper (Perjamuan Akhir) menjadi bukti bahwa film bisa menjadi medium penyembuh, pengingat, dan penggerak kesadaran sejarah bangsa. (Go.ens)


Komentar

Tampilkan

Terkini